Eropa Setujui Kebijakan Trade Remedy, Ekspor RI Bakal Makin Sulit

Pemberlakuan kebijakan trade remedy akan menghambat laju impor ke semua negara Uni Eropa melalui tindakan antidumping dan antisubsidi.

oleh Septian Deny diperbarui 10 Jan 2017, 11:30 WIB
Diterbitkan 10 Jan 2017, 11:30 WIB
20161018-Ekspor Impor RI Melemah di Bulan September-Jakarta
Aktivitas bongkar muat peti kemas di JICT Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (18/10). Penurunan impor yang lebih dalam dibandingkan ekspor menyebabkan surplus neraca dagang pada September 2016 mencapai US$ 1,22 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Parlemen Eropa dan European Council menyetujui proposal modernisasi kebijakan trade remedy pada akhir 2016. Modernisasi ini bisa mengancam ekspor Indonesia ke Uni Eropa.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Dody Edward‎ mengatakan, pemberlakuan kebijakan ini akan menghambat laju impor ke semua negara Uni Eropa melalui tindakan antidumping dan antisubsidi.

"Pemerintah mewaspadai hasil persetujuan parlemen Eropa. Penerapan modernisasi trade remedyini bisa menghambat laju ekspor Indonesia ke Uni Eropa," ujar dia di Jakarta, Selasa (10/1/2017).

Dody menjelaskan, parlemen Eropa dan European Council menyetujui proposal modernisasi kebijakan trade remedy tersebut pada 13 Desember 2016 usai diusulkan Komisi Uni Eropa sejak 2013. Proposal itu dilatarbelakangi makin tingginya serbuan produk-produk murah asal RRT, seperti produk baja.

Akibatnya industri domestik Uni Eropa kalah bersaing dan gulung tikar. Uni Eropa juga secara khusus mengacu kepada Amerika Serikat (AS) yang telah menerapkan praktik serupa dalam aturannya.

Dody Edward menuturkan Komisi Uni Eropa antara lain akan menghapus aturan lesser duty. Uni Eropa secara konsisten menerapkan prinsip lesser duty sehingga membuat Uni Eropa berbeda secara signifikan dengan AS.

Aturan lesser duty memungkinkan pengenaan tingkat bea masuk antidumping dengan besaran (level) yang lebih kecil dari margin dumping yang ada, sepanjang besaran tersebut dianggap proporsional untuk memulihkan kerugian industri domestik sebagai akibat impor produk dumping.  

“Aturan lesser duty dihilangkan terutama untuk menghadang impor dari negara yang dianggap memiliki particular market situation yang mendistorsi harga bahan baku. Negara berkembang seperti Indonesia perlu berhati-hati dan mengantisipasi seandainya Indonesia dianggap memiliki particular market situation. Kepada negara-negara dengan kondisi tersebut, Uni Eropa akan menerapkan metode baru dalam menghitung besaran dumping,” jelas dia.

Otoritas Uni Eropa, lanjut Dody, akan menolak menggunakan harga atau biaya produksi yang berlaku di negara tersebut, serta memilih menggunakan harga referensi di negara lain yang dianggap tidak terdistorsi sebagai pembanding dalam menentukan besaran dumping.

“Hal ini akan mempermudah Uni Eropa atau AS menggunakan data dari negara ke-3 untuk menetapkan besaran dumping yang menyebabkan menggelembungnya margin dumping,” lanjut Dody.

Kondisi particular market situation di suatu negara diindikasikan dengan peran dominan Pemerintah/BUMN dalam pengadaan barang dan jasa, pengendalian harga, pemberian jenis subsidi yang dilarang, kebijakan harga berganda (dual pricing), dan pajak ekspor. 

“Otoritas Uni Eropa dikhawatirkan akan menilai kondisi suatu pasar di suatu negara secara tidak objektif,” ujar dia.

Meski demikian, Dody mengimbau agar eksportir Indonesia tetap optimis dan berharap proposal tersebut tidak jadi berlaku.

“Kemendag akan menyosialisasikan rencana tersebut kepada eksportir Indonesia tujuan Uni Eropa dan bersama-sama dengan stakeholders guna melakukan advokasi secara optimal kepada para eksportir Indonesia yang terkena tuduhan trade remedy," kata dia.

Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati mengungkapkan, produk unggulan Indonesia sebenarnya telah dirugikan oleh aturan serupa yang lebih dahulu berlaku di AS, salah satunya untuk produk kertas.  

“AS menganggap Pemerintah Indonesia memberikan subsidi melalui kebijakan kehutanan Indonesia dan larangan ekspor kayu bulat (log) yang berkontribusi menekan harga kayu sebagai bahan baku kertas. Hal ini membuat Otoritas AS menentukan besaran dumping menggunakan harga kayu di negara lain sebagai pembanding yang notabene harganya jauh lebih tinggi,” ungkap dia.

Jika Uni Eropa menerapkan hal serupa, lanjut Pradnyawati, maka tuduhan antidumping dan antisubsidi terhadap produk unggulan Indonesia akan semakin gencar karena baik Uni Eropa maupun AS merupakan pengguna aktif instrumen trade remedies.   

"Proposal kebijakan tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus dari seluruh stakeholder mengingat Uni Eropa merupakan pasar strategis bagi produk ekspor Indonesia, seperti produk agro (kelapa sawit dan turunannya), produk perikanan, serta produk hasil kehutanan seperti pulp dan kertas,” tandas dia.(Dny/Nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya