Pengusaha Tekstil Minta Harga Gas Turun di Bawah US$ 6

Industri tekstil hadapi persoalan dari sisi eksternal yaitu lokasi geografis Indonesia paling jauh dibandingkan negara pesaing.

oleh Septian Deny diperbarui 23 Mar 2017, 10:00 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2017, 10:00 WIB
20160830- Industri Tekstil Nasional-Tangerang- Angga Yuniar
Pekerja merapikan gulungan kain di Pasar Cipadu, Tangerang, Selasa (30/8).Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin optimistis kinerja industri tekstil dan produk tekstil nasional akan gemilang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha tekstil dalam negeri meminta pemerintah menurunkan harga gas sebagai bahan baku industri ini. Harga gas yang dipatok saat ini dinilai masih terlalu mahal, sehingga membuat industri di dalam negeri tidak berdaya saing.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat mengungkapkan, industri tekstil saat ini menghadapi persoalan di sisi eksternal. Dalam hal ini dari segi geografis Indonesia karena lokasinya paling jauh dibandingkan negara-negara pesaing, sehingga membuat biaya logistik menjadi lebih tinggi.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka harus ada pembenahan dari sisi internal yaitu berupa penurunan harga gas. Dengan demikian, tingginya biaya logistik ini bisa dikompensasi dengan penurunan harga gas industri.

"Solusinya harus ada perbaikan di sisi internal. Dalam hal ini asosiasi telah meminta agar biaya energi dapat ditekan seperti harga gas di bawah US$ 6, serta listrik di bawah harga pesaing," ujar dia di Jakarta, Kamis (23/3/2017).

Selain soal harga gas, yang masih menjadi kendala bagi pelaku industri ini adalah masalah permesinan yang membuat proses produksi menjadi tidak efisien. Saat ini, kata Ade, 87 persen mesin industri tekstil belum direstrukturisasi.

"Kalau semuanya sudah direstrukturisasi akan membuat daya saing industri tekstil menjadi lebih baik," kata dia.

Namun di tengah banyaknya persoalan di industri tekstil, ada harapan yang menjanjikan bagi pelaku industri lokal untuk meningkatkan ekspornya ke negara lain, khususnya Amerika Serikat (AS). Hal ini seiring dengan keinginan‎ Duta Besar AS untuk Indonesia, Joseph R Donovan JR, untuk mendorong peningkatan kerja sama industri AS dan Indonesia.

Selama ini, AS merupakan pemasok utama bahan baku kapas bagi Indonesia. Nilai ekspor kapas AS ke Indonesia mencapai US$ 350 juta di 2016. Angka tersebut merupakan terbesar dibanding negara lain.

"Hal ini tentunya memberikan dampak positif bagi Indonesia dengan terciptanya lapangan kerja lebih luas," ucap Joseph.

Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono menyatakan pemerintah berencana mempercepat adanya kesepakatan antara Indonesia dan AS. Dengan demikian diharapkan Indonesia dapat langsung mengimpor kapas dari AS dan mendapatkan kemudahan untuk ekspor produk tekstil jadi.

"Tujuannya untuk mempermudah pelaku industri kecil dan menengah (IKM) mendapatkan bahan baku dengan harga yang terjangkau," ujar Sigit.

Sebagai informasi, total impor kapas Indonesia senilai US$ 1,4 miliar per tahun, 60 persen di antaranya didatangkan oleh industri tekstil dalam negeri secara langsung melalui pelabuhan Tanjung Priok. Sementara 40 persen lainnya diambil dari gudang khusus kapas di Malaysia.‎

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya