Revolusi Sawit di Eropa Belum Pengaruhi Bisnis Golden Agri

Parlemen eropa telah mengesahkan revolusi kelapa sawit yang menyebutkan bahwa kelapa sawit merusak hutan.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 18 Jul 2017, 17:31 WIB
Diterbitkan 18 Jul 2017, 17:31 WIB
Ilustrasi Perkebunan Sawit
Ilustrasi Perkebunan Sawit (iStockphoto)​

Liputan6.com, Jakarta Parlemen Eropa telah mengesahkan revolusi kelapa sawit. Revolusi ini menyatakan bahwa produk kelapa sawit tidak bisa diterima karena produksinya merusak hutan. Adanya hal itu, perusahaan produsen kelapa sawit Golden Agri-Resources Ltd (GAR) mengaku hal itu belum memengaruhi ekspansi pasar mereka di daratan Eropa.

Managing Director, Sustainability and Strategic Stakekholders Engagement GAR, Agus Purnomo, mengungkapkan, dari data perusahaan, pangsa pasar Eropa dan Afrika saat ini mencapai 21 persen.

"Kalau dari perdebatan di Parlemen Eropa, sebenarnya dalam operasional sehari-hari kami tidak ada dampak," kata Agus kepada wartawan di Jakarta, Selasa (18/7/2017).

Meski belum berdampak, Agus mengaku tetap ada kekhawatiran perusahaan mengenai perkembangan isu tersebut. Dia mengaku isu itu takut disalahpersepsikan oleh berbagai negara, yang akhirnya menjadikan setiap negara mengeluarkan kebijakan pelarangan pemasaran sawit.

Untuk itu, dirinya mengaku berterima kasih kepada pemerintah Indonesia yang terus gencar mengampanyekan mengenai kondisi sawit di Indonesia. Yang terbaru, dalam pertemuan G20 di Jerman, Presiden RI Joko Widodo juga meminta negara-negara Eropa untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang merugikan Indonesia.

"Kami punya 72 ribu hektare kawasan berhutan yang dalam konsesi kami yang kami jaga, kami tidak melakukan itu. Tapi kalau orang Eropa itu melarang sawit masuk ke Eropa itu akan terkena dan baru berdampak," terang dia.

Agus mengungkapkan, saat ini pihaknya hanya bisa mendorong asosiasi dan pemerintah untuk menjelaskan mengenai kondisi sawit di Indonesia. Baginya, persoalan ini tidak bisa ditangani antarperusahaan, tetapi harus dilakukan bersama antara pemerintah dan asosiasi.

"Karena ini muncul dari lembaga parlemen Eropa, jadi yang pas juga parlemen Indonesia yang merespons juga," tutup Agus. (Yas)

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya