Sri Mulyani Patok Target Inflasi Rendah dalam 3 Tahun

Pemerintah menetapkan target inflasi di kisaran 3,5 persen pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Sep 2017, 10:46 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2017, 10:46 WIB
Inflasi
Ilustrasi Inflasi (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 124/PMK.010/2017 tentang Sasaran Inflasi Tahun 2019, 2020, dan periode 2021. Target pemerintah menunjukkan tren penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Penetapan sasaran inflasi untuk jangka waktu tiga tahun ini bukanlah kali pertama. Sasaran inflasi tiga tahun sebelumnya, yakni 2016, 2017, dan 2018 ditetapkan melalui PMK Nomor 93/PMK.011/2014.

Dikutip dari keterangan resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Jumat (29/9/2017), PMK 124 Tahun 2017 merupakan acuan bagi penyusunan program kerja pemerintah dan BI ke depan.

Secara umum, sasaran inflasi terus diarahkan ke tingkat lebih rendah dan stabil guna mendukung daya beli dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

"Dalam PMK ini telah ditetapkan sasaran inflasi di 2019, 2020, dan 2021 masing-masing sebesar 3,5 persen, 3 persen, dan 3 persen. Tingkat deviasi sebesar plus minus 1 persen," tulis Kepala Biro Humas KLI Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti.

Sebagaimana diketahui, pemerintah menetapkan target inflasi di kisaran 3,5 persen pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018. Target ini lebih rendah dari proyeksi 4,3 persen di APBN-Perubahan 2017.

"Perhitungan sasaran inflasi di 2019, 2020, dan 2021 mengacu pada persentase kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau headline inflation di akhir tahun dibandingkan dengan akhir tahun sebelumnya (year on year/YoY)," kata Nufransa.

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berkomitmen terus meningkatkan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter dalam rangka pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Koordinasi kebijakan dalam pengendalian inflasi telah diamanatkan dalam Pasal 21 Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009, BI berwenang menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran inflasi yang ditetapkan pemerintah, setelah berkoordinasi dengan BI.

 

 

Ekonomi Relatif Baik

Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, di tengah ketidakpastian global, perekonomian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang relatif baik di kuartal II-2017. Tercermin dari nilai pertumbuhan yang mencapai 5,01 persen (yoy).

Defisit transaksi berjalan di periode tersebut mencapai 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), membaik dibandingkan kuartal II-2016 yang hanya mencapai 2,3 persen. Sementara selama Januari-Agustus 2017, total surplus perdagangan mencapai US$ 9,1 miliar.

“Pertumbuhan ekonomi kita tumbuh relatif baik. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia adalah negara yang pertumbuhannya paling tinggi dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Darmin dalam keterangan resminya.

Dari sisi inflasi, mantan Gubernur BI ini mengaku, secara keseluruhan terkendali dengan inflasi pada Agustus 2017 sebesar 3,82 persen (yoy).

"Inflasi pangan terus mengalami tren penurunan sejak awal tahun dan mulai dapat dikendalikan seiring peningkatan koordinasi baik pemerintah pusat, BI dan pemerintah daerah dalam menjaga ketersediaan pasokan bahan pangan," dia menjelaskan.

Darmin mengingatkan konsistensi peran Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di setiap daerah diperkuat dan dikembangkan. Hal ini bertujuan agar TPID mampu menyusun rekomendasi terkait inflasi untuk di daerahnya masing-masing.

“Setiap daerah perlu mengenali apa yang rentan di daerahnya terkait inflasi. Apakah beras, bawang, ikan atau daging. Tentu perlu terus dimonitor dan disusun kebijakannya,” tuturnya.

Soal ketimpangan ekonomi yang masih terjadi pada ekonomi antar daerah. Saat ini, penyumbang terbesar perekonomian Indonesia masih didominasi Pulau Jawa yang mencapai 58,5 persen terhadap PDB. Sementara Sumatera menyumbang 22 persen, Kalimantan 7,9 persen, Sulawesi 6,0 persen, Bali dan Nusa Tenggara 3,1 persen, serta Maluku dan Papua hanya 2,5 persen.

"Ketimpangan terjadi karena pusat pembangunan lebih banyak bertumpu di Pulau Jawa. Pemerintah pusat sedang fokus mendorong percepatan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah di Indonesia," dia menerangkan.

Percepatan pembangunan infrastruktur diharapkan dapat meningkatkan peringkat pembangunan infrastruktur Indonesia yang saat ini masih rendah dibanding dengan negara lainnya. Padahal pembangunan sektor ini menjadi sangat penting karena Indonesia merupakan negara kepulauan.

“Kita mencoba mendorong pembangunan infrastruktur yang lokasinya menyebar di seluruh Indonesia. Kalau ada infrastruktur yang memadai, pertumbuhan di daerah akan menjadi lebih baik dan pemerataan ekonomi dapat terwujud,” pungkas Darmin.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya