Selama 10 Tahun, Investasi Bodong Timbulkan Kerugian Rp 105,8 T

Satgas waspada investasi sosialisasikan ciri-ciri investasi bodong dengan model 2L yaitu legal dan logis.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 30 Nov 2017, 16:30 WIB
Diterbitkan 30 Nov 2017, 16:30 WIB
Ilustrasi investasi Bodong
Ilustrasi investasi Bodong (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Satgas Waspada Investasi saat ini terus menunjukkan taringnya dalam membuka kedok investasi yang berpotensi merugikan masyarakat atau disebut investasi bodong.

Yang terbaru, Satgas ini telah merekomendasikan kepada Kementerian Agama mengenai praktek ponzi yang dilakukan oleh agen perjalanan umrah First Travel. Kasus itu melibatkan korban sebanyak 58,6 ribu dengan nilai kerugian mencapai Rp 800 miliar.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing menjelaskan, memang semakin hari banyak masyarakat yang tertipu model investasi bodong tersebut.

"Hingga sepuluh tahun terakhir (2007-2017) saja, perkiraan total kerugian dari investasi bodong ini mencapai Rp 105,81 triliun. Ini menunjukkan kalau masyarakat perlu lebih banyak edukasi," tegas Tongam di kantor OJK, Kamis (30/11/2017).

Dia menyebutkan, setidaknya ada empat kasus yang belakangan telah ditangani, pertama First Travel. Kedua yaitu Pandawa Group yang menawarkan investasi sebesar 10 persen per bulan. Dari kasus ini, setidaknya ada 549 ribu korban dengan total kerugian Rp 3,8 triliun.

Ketiga, kasus PT Cakrabuana Sukses Indonesia (CSI), yang menawarkan investasi emas dengan keuntungan 5 persen per bulan. Di sini, setidaknya ada 7.000 korban dengan total kerugian sebesar Rp 1,6 triliun.

Keempat adalah Dream for Freedom yang menawarkan imbal hasil satu persen per hari. Alhasil, sebanyak 700 ribu orang menjadi korban dengan total kerugian mencapai Rp 3,5 triliun.

"Ini penyebabnya di antaranya adalah masyarakat itu mudah tergiur untung yang tinggi, belum paham prinsip investasi," ucap Tongam.

Oleh karena itu, Satgas Waspada Investasi selalu menyosialisasikan mengenai ciri-ciri investasi bodong itu dengan model 2L, yaitu legal dan logis. Dengan demikian, sebelum berinvestasi, masyarakat harus menelusuri legalitas perusahaan dan jenis usahanya, serta keuntungan yang didapatkan tersebut logis atau tidak. (Yas)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Bunga Deposito Kecil Bikin Korban Investasi Bodong Meningkat

Sebelumnya, maraknya investasi bodong belakang ini membuat masyarakat resah. Bagaimana tidak, hal tersebut membuat masyarakat kehilangan tabungan atau harta.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menduga, maraknya korban investasi bodong karena imbas dari penurunan suku bunga. Wimboh menerangkan, pemerintah saat ini tengah menekan suku bunga. Hal ini dilakukan supaya Indonesia menjadi semakin kompetitif.

"Itu kenapa terjadi, pertama ini implikasi kepada kondisi ekonomi yang kita tekan suku bunga harus turun. Karena negara kita harus kompetitif ke depannya," kata dia dalam Diskusi Publik GK Center Waspada Investasi: Bagaimana Menghindari Penipuan Investasi di Jakarta, Sabtu 7 Oktober 2017.

Dengan suku bunga rendah, maka orang tak perlu meminjam uang ke luar negeri. Menurutnya, suku bunga di luar negeri relatif rendah. "Suku bunga itu harus murah, kalau tidak, orang pinjam lebih banyak ke luar negeri. Dengan 3-4 persen, paling mahal 6 persen. Di Indonesia di atas 13-15 persen kalau bagus-bagus itu betul 9 persen," ujar dia.

Namun, dia menuturkan, penurunan suku bunga akhirnya berdampak pada penurunan bunga deposito. Alhasil, pendapatan di deposito semakin berkurang. "Implikasinya orang punya deposito pendapatannya rendah, kalau rendah tergiur informasi investasi yang pendapatan yang tidak umum," ujar dia.

Alhasil, masyarakat pun terjerumus pada investasi bodong. Itu pun ditambah minimnya pengetahuan terkait investasi yang legal. "Tapi karena masyarakat ini tidak paham, risikonya apa, ini resmi atau tidak lembaga yang menawarkannya, produknya terintegrasi atau tidak," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya