Hadapi Pemulihan Ekonomi AS, Apa yang Harus Dilakukan Jokowi?

Senat Amerika Serikat (AS) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan yang diajukan Presiden Donald Trump.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 26 Des 2017, 17:10 WIB
Diterbitkan 26 Des 2017, 17:10 WIB
Tabel Pertumbuhan Ekonomi Rill Indonesia 1961-2016 (Liputan6.com/Pool/Schoders)
Tabel Pertumbuhan Ekonomi Rill Indonesia 1961-2016 (Liputan6.com/Pool/Schoders)
 
Liputan6.com, Jakarta Ekonomi Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan terus pulih di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Hal ini terlihat dari kebijakan yang dia ciptakan, terutama soal perpajakan yang bakal menjadi penopang baru pertumbuhan ekonomi AS.
 
Tidak hanya itu, faktor pendukung lainnya adalah terpilihnya Jerome Powell menggantikan Jannet Yellen dalam memimpin The Fed. 
 
Di tangannya dipastikan AS tidak akan menaikkan suku bunga yang signifikan, sehingga kebijakannya akan mendorong permintaan AS yang semakin memacu pertumbuhan ekonomi AS sesuai dengan target sang presiden.
 
 
Namun, di balik berita baik tersebut, terselip juga risiko yang tak kalah bahayanya. Sebab, pemotongan tarif pajak AS untuk membawa pulang investasi AS di luar negeri diperkirakan akan menarik banyak investor asing yang akan menanamkan modalnya ke AS. 
 
"Kerena memang itulah salah satu sasaran tembaknya untuk  mendorong dinamika ekonomi domestik Paman Sam, yang selama beberapa tahun belakangan cenderung lesu. Perlu pula dicatat, langkah serupa  sebelumnya juga sudah dilakukan oleh India dan Tiongkok," kata Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia Ronny P Sasmita kepada Liputan6.com, Selasa (26/12/2017).
 
India mereformasi pajak dengan fokus pada pajak pertambahan nilai guna meningkatkan pertumbuhan sektor industri. Sementara Tiongkok lebih menekankan pada pemangkasan pajak pendapatan individu guna memperkuat konsumsi rumah tangga. Keduanya juga sangat berpotensi memindahkan perhatian investor global ke dua negara tersebut. 
 
Oleh karena itu, selain disambut dengan penuh harap, kecenderungan di atas patut diukur-ukur risikonya. Pasalnya, porsi kepemilikan asing pada surat utang negara, saham, dan obligasi Indonesia sangat dominan. 
 
"Konsekuensinya, Indonesia menjadi sangat rentan terhadap pelarian dana ke luar negeri (capital outflow) yang akan berakibat pada kekeringan likuiditas, cadangan valuta asing, dan depresiasi rupiah," paparnya.
 
Selain itu, menurut Ronny, kebijakan reformasi pajak Trump dalam skala yang lebih luas akan berimbas pada iklim investasi. Apabila negara-negara maju seperti India, Tiongkok, dan AS bisa melakukan pemangkasan tarif pajak, sementara Indonesia tidak mengikuti langkah tersebut, Indonesia tentu akan kehilangan daya tarik investasi.
 
Apalagi, tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi di Indonesia, yakni 25 persen, masih tergolong mahal. Untuk kawasan Asia Tenggara saja, sebagai perbandingan, Filipina menerapkan tarif PPh Badan 30 persen, Malaysia 24 persen, Thailand 23 persen, Vietnam 22 persen, dan Singapura memasang 17 persen. 
 
"Sebagai sumber utama penerimaan negara, tarif pajak berkorelasi kuat dengan target penerimaan dan realisasi belanja negara. Dengan kata lain, Jokowinomic harus punya formulasi tersendiri yang berorientasi membela kepentingan ekonomi nasional untuk mengantisipasi percikan negatif Trumponomic. Semoga," tutup Ronny.
 
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
 
 

Dorong Persepsi Investor

Senat Amerika Serikat (AS) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan yang diajukan Presiden Donald Trump. Salah satunya memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 35 persen menjadi 21 persen.

"Kita belum tahu reaksi negara lain, seperti apa terhadap penurunan pajak di AS," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (22/12/2017).

Dia berpendapat, reformasi sistem pajak di AS ini akan mendorong persepsi investor  ekonomi Negeri Paman Sam itu akan bergerak membaik.

"Kemudian itu namanya flight to quality (realokasi ke aset yang lebih aman). Tapi seberapa besar, kita belum bisa memprediksinya karena dampaknya menyusul kalau ekonomi mereka membaik," jelas Darmin.

Apabila perekonomian AS membaik, sambung dia, akan mengerek ekspor sejumlah negara yang mengandalkan pasar AS, termasuk Indonesia. Namun, Darmin memperkirakan bahwa akan ada potensi kaburnya dana asing (capital outflow) dari Indonesia atas kebijakan perpajakan AS.

"Dari awalnya akan ada pengaruh tersebut, tinggal masing-masing negara reaksinya apa," ujar Darmin. Jika di negara lain ramai-ramai memangkas tarif pajak badannya seperti yang dilakukan Trump, maka Darmin mengkhawatirkan adanya potensi perang tarif. "Kalau negara lain menurunkan, ya akan ada persaingan," kata dia.

Namun, saat ditanyakan mengenai kemungkinan Indonesia ikut menurunkan tarif PPh Badan dari saat ini 25 persen, sebelumnya ada wacana memangkas pajak tersebut ke angka 17 persen.

"Kita belum mau, belum mau komentarlah. Lihat saja dulu perkembangannya," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya