Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memaparkan masih ada berbagai tantangan di 2018 khususnya dalam mengendalikan inflasi di DKI Jakarta. Pada 2017, inflasi DKI Jakarta sendiri sebenarnya mampu terjaga dengan hanya mencatatkan angka 3,72 persen (YoY).
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta Doni P Joewono mengatakan, memerhatikan pola perkembangan harga terhadap beberapa komoditas di pasar-pasar, rencana kebijakan pemerintah serta prospek perekonomian domestik ke depan, inflasi Jakarta pada tahun 2018 diprakirakan tetap terjaga dan akan mendukung pencapaian sasaran inflasi nasional 3,5 ± 1 persen.
Adapun menurut Doni, tekanan permintaan masyarakat diprakirakan meningkat, seiring dengan perbaikan perekonomian domestik.
Advertisement
"Kenaikan UMP (Upah Minimum Provinsi) tahun 2018, juga akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa secara umum," kata Doni dalam keterangannya, Rabu (3/1/2018).
Baca Juga
Namun demikian, di satu sisi, pemerintah belum mempunyai rencana untuk menaikkan harga komoditas-komoditas yang dikendalikan, sehingga inflasi administered prices diperkirakan akan tetap terjaga.
Di sisi lainnya, menurutnya, pemerintah akan terus berupaya meningkatkan kapasitas produksi pangan dalam negeri, sehingga kebutuhan pangan masyarakat, terutama DKI Jakarta akan selalu terpenuhi.
"Dinamika harga-harga di Jakarta dapat memengaruhi kinerja kestabilan harga secara nasional, mengingat besarnya peran Jakarta dalam perkembangan inflasi nasional. Berbagai perkembangan harga di Ibukota, telah menjadi barometer pergerakan nasional," tegas Doni.
Maka dari itu, tercapainya kestabilan inflasi di Jakarta akan mendorong pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Jakarta secara khusus, dan nasional secara umum.
Penguatan koordinasi Bank Indonesia dan Pemerintah Provinsi DKI dalam menentukan langkah-langkah strategis pengendalian inflasi terus ditingkatkan.
Di sisi pangan, perluasan koordinasi dengan kementerian terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan kerjasama antardaerah akan dilakukan, di samping terus memperkuat peran BUMD Pangan dalam tataniaga dan pengendalian harga pangan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Picu Daya Beli
Kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 8,71 persen juga dinilai tidak akan meningkatkan daya beli masyarakat secara signifikan di 2018. Sebab, di tahun depan, inflasi diprediksi akan lebih dari 4 persen.
Hal tersebut diungkapkan pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara.
‎"Dampak ke daya beli tidak signifikan, karena 8,71 persen itu pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Inflasinya saja sudah 3,7 persen. Artinya peningkatan upah riil hanya 5 persen. Jadi tidak terlalu signifikan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (18/12/2017).
Menurut dia, di tahun depan inflasi nasional bisa lebih dari 4 persen. Hal tersebut terjadi jika pemerintah melakukan penyesuaian harga pada sejumlah komponen energi, seperti listrik, BBM dan gas.
"Sehingga kenaikan upah akan tergerus oleh inflasi. Jadi upah riil yang diterima oleh buruh menjadi lebih rendah. Nah, di sini tantanganya," lanjut dia.
Sementara di sisi lain, sejak dua tahun terakhir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mulai diterapkan, justru terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja. Dari data BPS, per Agustus 2017 pengangguran mengalami kenaikan sebesar 10 ribu orang.
"Artinya kenaikan upah meski sudah dibatasi, tapi formula itu tidak cocok. Karena dampak kepada daya beli, dampak ke produktivitas tidak meningkat sama sekali," ucap dia.
Advertisement