Posisi Tawar Politik Petani Sawit RI Masih Rendah

Ada sekitar 20 juta orang yang bekerja di sektor komoditas sawit di Indonesia.

oleh Nurmayanti diperbarui 15 Mar 2018, 17:44 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2018, 17:44 WIB
20160304-Kelapa Sawit-istock
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia diakui mulai memberikan perhatian terhadap komoditas kelapa sawit. Ini karena sawit memiliki daya saing yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan komoditas lain. Namun perhatian masih secara ekonomi tapi belum dari sisi politik.

“Dari sisi politik belum sama sekali,” ujar Pengamat Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono di Jakarta, Kamis (15/3/2018).

Kondisi ini, kata Tony, juga terjadi di sektor pertanian secara umum. Hingga saat ini, asosiasi petani tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun dalam pesta demokrasi pada ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) maupun pemilihan presiden (pilpres).

Menurut Tony, hal ini berbeda jika dibandingkan dengan negaramaju seperti Jepang dan Amerika Serikat. Posisi tawar asosiasi petani di negara tersebut sangat kuat. Padahal, jumlah petani di Jepang hanya sekitar 1 persen dari jumlah penduduk Negara Matahari Terbit tersebut. Sementara AS hanya 5 persen. Adapun di Indonesia sekitar 35 persen dari total penduduk.

Kendati hanya memiliki jumlah petani yang sangat kecil, namun Pemerintah Jepang dan AS sangat peduli pada program swasembada. Hal itu dalam rangka menjaga ketahanan. Kebijakan yang ditempuh kedua negara tersebut pun terlihat melindungi sektor pertaniannya.

“Proteksinya berupa harga, tidak boleh menabrak floor price (harga dasar). Kalau menabrak floor price berarti harganya terlalu murah. Nah, kalau murah berarti disinsentif bagi petani, padahal petani di Jepang tinggal 1 persen. Kalau petani yang tinggal sedikit itu tidak diproteksi,maka mereka akan meninggalkan pertanian. Jadi di Jepang posisi tawar petani itu sangat tinggi,” ujarnya.

Sebaliknya di Indonesia, pemerintah justru menerapkan selling price (harga batas atas). “Artinya harga tidak boleh menabrak plafon, kalau menabrak plafon, pemerintah ambil kebijakan impor. Jadi Indonesia lebih memproteksi konsumen,” kata Tony.

 

20 Juta Pekerja

Sawit Jambi
Harga sawit di Jambi dikeluhkan petani karena terus mengalami penurunan. (Liputan6.com/B Santoso)

Khusus di sektor sawit, walaupun ada sekitar 20 juta orang yang bekerja di sektor ini, namun posisi tawar asosiasi juga lemah. “Ini karena memang para petani maupun pelaku usaha sawit di Indonesia belum memiliki tradisi bargaining position,” dia menambahkan.

Pemerintah seharusnya mulai memberikan perhatian secara politik bagi pertanian, khususnya pada sawit. “Pemerintah mungkin belum sadar ternyata orang yang bekerja di sawit itu cukup besar yakni sekitar 10 persen dari jumlah penduduk yang punya hak pilih. Untuk itu pemerintah kedepannya harus mempertimbangkan perhatian yang lebih besar pada sektorpertanian,” katanya.

Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan 20 juta orang merupakan angka yang sangat besar. Sehingga seharusnya, asosiasi baik pengusaha kelapa sawit maupun asosiasi petani kelapa sawit memiliki posisi tawar yang tinggi dalam setiap pesta demokrasi baik pada tataran lokal (pilkada) maupun nasional (pilpres).

Apalagi, dari sisi jumlah pemilih, pekerjakebun itu punya nilai tersendiri. Karena jumlahnya banyak untuk daerah-daerah tertentu.

Tonton Video Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya