Pencampuran Minyak Sawit ke Solar Bisa Tekan Defisit Neraca Perdagangan

Ke depan, B20 dapat digunakan untuk kapal laut, alat tambang dan kelistrikan.

oleh Merdeka.com diperbarui 02 Agu 2018, 20:45 WIB
Diterbitkan 02 Agu 2018, 20:45 WIB
Pemerintah Bakal Cabut Izin Usaha Bila Tak Campur 15% BBN
Kementerian ESDM juga akan terus mengawasi proses pencampuran biodiesel sebesar 15 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Jokowi-JK dalam waktu dekat akan menerapkan perluasan penggunaan Biodisel 20 persen (B20) ke nonsubsidi atau non PSO (Public Service Obligation). Perluasan penggunaan B20 ini dalam rangka menekan defisit neraca perdagangan Indonesia.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, dengan penggunaan B20 defisit neraca perdagangan dapat ditekan hingga akhir tahun. Tentu dibantu oleh beberapa sektor lain seperti pariwisata.

"Kita percaya begitu laksanakan B20 sampai akhir tahun secara total kita tidak defisit lagi. Ditambah kegiatan pariwisata," ujar Menko Darmin di Hotel Arya Duta, Jakarta, Kamis (2/8/2018).

Menko Darmin menjelaskan, sejak diterapkan penggunaan B20 hanya digunakan untuk mobil. Ke depan, B20 dapat digunakan untuk kapal laut, alat tambang dan kelistrikan.

"Kita berlakukan B20 untuk seluruhnya. Tadinya B20 sudah berlaku, anda kalau isi Diesel di SPBU itu B20. Tapi itu baru berlaku untuk mobil, ke depan segera berlaku unutk kereta api, kapal laut, alat tambang," jelasnya.

Menko Darmin menambahkan, selama ini sektor migas paling besar mengalami defisit. Di mana, defisit migas berkisar USD 5,4 miliar per semester. Sementara, non migas surplus USD 4,4 miliar. "Begitu digabung hasilnya juga defisit," katanya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Penerapan Kandungan Biodiesel 100 Persen Butuh Waktu 3 Tahun

Mangkir Mencampur Biodiesel dengan Solar, Siap Kena Denda
Pemerintah ingin menegakkan peraturan lebih ketat agar industri melaksanakan amanat tersebut.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto mengungkapkan, untuk B20 ini akan diarahkan pada konsumsi solar di sektor yang non-Public Service Obligation (non-PSO). Payung hukum untuk penerapan kebijakan tersebut pun telah siapkan pemerintah.

"B20 dilaksanakan non-PSO. Kemarin PSO. B20 dilaksanakan, Perpres (Peraturan Presiden) sudah ada,"‎ ujar dia pada Rabu 1 Agustus 2018. 

Dia menyatakan, untuk bahan bakar kendaraan, tetap akan diberikan PSO. Namun sektor yang dituju untuk non-PSO antara seperti pertambangan dan pembangkit listrik.

Bahkan untuk pembangkit listriknya sebenarnya sudah bisa menggunakan solar dengan campuran CPO lebih dari 20 persen.

‎"Kalau otomotif itu namanya. Ini sudah jalan. Yang sekarang non-PSO itu pertambangan, kereta api, pembangkit listrik. Itu sebagian bisa lebih dari B20. Bahkan mesin tertentu ada yang bisa 100 persen dengan modifikasi tertentu," kata dia.

Sementara untuk mencapai B100, lanjut Airlangga, setidaknya membutuhkan waktu hingga tiga tahun ke depan. Sebab, diperlukan pabrik yang mampu memproduksi B100 tersebut.

"Tetapi untuk bangun B100 proses harus ada pabrik green diesel baru dan itu proses makan waktu 3 tahun.‎ Harus ada bikin pabrik karena proses yang sekarang itu proses esterifikasi namanya, sehingga menjadi B20. Kalau B100 itu hydrogenation. Beda proses," tutur dia.

Jika telah mencapai B100, kata dia, maka bukan hanya membuat mesin kendaraan atau pabrik menjadi ramah lingkungan, tetapi juga akan menghemat banyak devisa akibat impor solar yang menurun signifikan.

"Punya 16 juta kilo liter nonpso, jadi savingnya besar sekali. Bikin program B100 karena itu sama dengan Euro4 standarnya. Jadi untuk B100 mesin tidak perlu dimodifikasi," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya