Rupiah Menguat, Sri Mulyani Pastikan Pemerintah Tetap Jaga

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, meski ada penguatan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS)

oleh Septian Deny diperbarui 06 Sep 2018, 16:10 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2018, 16:10 WIB
Pemerintah rapat bersama Banggar
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi paparan dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Gedung Nusantara II DPR, Kamis (31/5). Rapat membahas kerangka ekonom makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2019. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) bergerak menguat di perdagangan Kamis (6/9/2018). Rupiah bahkan sudah tak lagi bertengger di level 14.900-an per USD.

Mengutip data Bloomberg, pagi ini rupiah dibuka di level 14.875 per USD atau menguat dibanding penutupan perdagangan kemarin yang sempat menyentuh 14.938 per USD. Usai pembukaan, rupiah melemah tipis ke level 14.890 per USD.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, meski ada penguatan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), pemerintah tetap akan terus mewaspadai. Sebab, ketidak pastian gejolak perekonomian dunia masih akan terjadi.

"Ini sesuatu yang akan terus kita hadapi ketidak pastian ini tapi kita akan tetap menjaga," kata Sri Mulyani saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCV) Senayan, Jakarta, Kamis 6 September 2018.

Sebelumnya, President ASEAN International Advocacy, Shanti Ramchand Shamdasani mengatakan, meski Rupiah sama-sama terdepresiasi, namun saat ini kondisi keuangan nasional masih bagus. Buktinya, perbankan di dalam negeri tidak terdampak pelemahan Rupiah seperti yang terjadi di 1998.

"Ini sama (terdepresiasi) tapi makna beda. 1998 dulu banking system-nya juga jatuh, banyak bank tutup, banyak yang merger dan lain-lain," ujar dia di Jakarta, Kamis 6 September 2018.

Dia menuturkan, depresiasi rupiah yang terjadi saat ini disebabkan oleh dua hal, ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi digital. Kedua, perang dagang yang dipicu oleh kebijakan Amerika Serikat.

"Sekarang berbeda karena trigger-nya dua. Pertama banking system, mereka tidak antisipasi ekonomi digital sampai begitu berkembang. Lalu trade war di mana upaya mengkaji ulang perjanjian bilateral yang sedang dilakukan AS dan negara lain," kata dia.

Sementara itu, Ketua Progres 98 Faizal Assegaf menyatakan, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap USD yang mendekati psikologis baru Rp 15.000 masih dalam batas kewajaran.

"Masalah rupiah ini seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan seluruh rakyat. Dan sampai sejauh ini, gejolak rupiah masih dalam batas kewajaran," ungkap dia.

 

Rupiah Menguat, Tinggalkan Level 14.900 per Dolar AS

Nilai tukar Rupiah
Nasabah mengantre menukarkan mata uang USD di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (5/9). Sebelumnya pada Selasa (4/9), Rupiah sempat mencapai level Rp 14.935 per dollar Amerika atau terlemah sejak 1998. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu menguat kembali pada perdagangan Kamis pekan ini setelah dari awal pekan terus tertekan. Penguatan rupiah ini menyusul pertanyaan dari salah satu pejabat Bank Sentral AS  atau the Federal Reserve (the Fed).

Mengutip Bloomberg, Kamis  6 September 2018, rupiah dibuka di angka 14.875 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.938 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah masih berada di kisaran 14.875 hingga 14.890 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 9,85 persen.

Adapun berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok 14.891 per dolar AS, menguat jika dibanding dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.927 per dolar AS.

Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail mengatakan, mata uang dolar AS bergerak melemah terhadap beberapa mata uang dunia seperti euro dan pound sterling menyusul pernyataan Presiden The Fed St Louis James Bullard bahwa The Fed harus menghentikan kenaikan tingkat suku bunga.

"Risiko perang dagang dan data ekonomi yang belum cukup kuat menjadi salah satu alasan bagi pejabat The Fed itu untuk menghentikan kenaikan suku bunga," paparnya seperti dikutip dari Antara. 

Di tengah situasi itu, mata uang rupiah diuntungkan. Namun, masih adanya risiko yang tinggi bagi mata uang negara-negara berkembang akibat krisis keuangan yang terjadi Argentina, Turki, dan Afrika Selatan dapat menahan apresiasi rupiah.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya