Liputan6.com, Gunung Kidul Musim kemarau yang melanda Indonesia tidak menyurutkan semangat petani untuk meningkatkan produksi. Contohnya, petani di Gunung Kidul berhasil meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) dengan penerapan sistem persemaian “Culik” pada musim kemarau tahun ini.
Sistem tersebut adalah teknologi yang diperkenalkan Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian dalam upaya optimalisasi pemanfaatan hujan melalui manajemen waktu tanam dengan mempercepat waktu tanam. Parjono, seorang Mantri Tani Kecamatan Girisubodo Kabupaten Gunung Kidul, mengatakan bahwa sistem ini bisa membuatnya lebih produktif memanfaatkan musim kemarau.
“Dengan sistem ini, petani yang biasanya menanam dua kali dalam setahun, sekarang dapat menanam tiga kali, yaitu padi-padi-jagung/tembakau,” ujarnya, dalam pertemuan dengan Tim Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP), di ladangnya pada Sabtu (8/9/2018).
Advertisement
Menurut Parjono, karateristik lahan di wilayahnya tidak jauh berbeda dengan lahan di Desa Wareng, Kecamatan Wonosari yang telah lebih dulu berhasil menerapkan sistem “Culik”. Dengan potensi air tanah yang cukup besar, ditambah banyaknya sumber air di dalam gua dan pembangunan kantung air di sekitar sawah, Parjono yakin dengan mengadopsi pola “Culik” para petani di daerahnya dapat berproduksi meski di musim kemarau.
Mulyadi, Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balitbangtan Yogyakarta, mengatakan bahwa Kementerian Pertanian sitem ini diberi nama “Culik” karena penyemaian padi dilakukan dengan mempercepat waktu tanam.
“Penyemaian padi dilakukan sebelum panen istilahnya menculik waktu, sehingga 7 sampai 20 hari setelah panen padi langsung ditanam, jadi pada saat berbunga masih ada hujan,” ucapnya.
Dengan mengadopsi sistem tersebut didukung dengan potensi luas tanam hingga 65.5 hektare, Mulyadi yakin petani di Gunung Kidul mampu mempercepat masa tanam dan berproduksi meski kekeringan melanda. Bahkan, sistem ini dipercaya mampu meningkatkan IP dengan provitas rata-rata mencapai 4,6 - 4,9 ton per hektare.
“Didukung dengan pola tanam jajar legowo, pertanaman padi MT (Musim Tanam) II kali ini mampu menghasilkan 6,16 ton per hektare, lebih tinggi dibandingkan MT I yang provitasnya hanya 4,5 ton per hektare. Jelas lebih menguntungkan yang tadinya tidak menghasilkan karena tidak ditanami sekarang ditanami dan menghasilkan dengan produktivitas tinggi,” kata dia.
Mulyadi juga mengatakan dengan pola “Culik” keuntungan petani tidak hanya dari segi peningkatan hasil padi untuk pangan, tetapi jerami padi juga dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Sebagian besar petani di wilayah tersebut memiliki minimal dua ekor sapi sebagai sumber pupuk kandang dan status sosial.
“Biasanya Bulan Juni sampai September petani kekurangan pakan ternak, harus didatangkan dari Klaten dan Sukoharjo dengan biaya satu truk 1jt, dengan peningkatan IP, petani memperoleh hasil ganda,” ujarnya.
Dengan penerapan tanam “Culik” diharapkan petani tidak kehilangan momen untuk terus berproduksi, seperti Petani di Gunung Kidul yang langsung mengisi penanaman MT III dengan tanaman hortikultura seperti bawang merah, cabai, terong, dan kacang panjang.
Sistem tersebut diharapkan dapat menggerakan seluruh sumber daya pertanian yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Ditambah dengan alat mesin pertanian (alsintan) yang disediakan pemerintah, seharusnya segala sumber daya produksi pertanian mampu bekerja lebih maksimal sepanjang tahun.
(*)