Produksi Padi Turun 39,3 Persen Akibat Kemarau

Turunnya produksi pada musim kemarau sejatinya bukan hanya terjadi di tahun ini. Berdasarkan pengamatan AB2TI selama delapan tahun terakhir juga terjadi.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Okt 2018, 12:15 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2018, 12:15 WIB
Petani padi
Petani memanen padi varietas Ciherang di areal persawahan Desa Ciwaru, Sukabumi. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Studi Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menunjukkan sebagian dari 14 kabupaten sentra padi nasional mengalami penurunan produksi hingga 39,3 persen akibat kemarau panjang.

"Kalau basah biasanya produksi padi meningkat. Kalau kering, biasanya produksi padi menurun," kata Ketua AB2TI Dwi Andreas seperti mengutip Antara, Senin (1/10/2018).

Turunnya produksi pada musim kemarau sejatinya bukan hanya terjadi di tahun ini. Setidaknya berdasarkan pengamatan AB2TI selama delapan tahun terakhir, selalu terjadi penurunan produksi padi tiap kali musim kemarau menerjang.

Apabila kemarau panjang terus terjadi, Andreas menyatakan musim tanam padi pun akan mundur dibandingkan waktu normal. Untuk diketahui, biasanya siklus tanam di musim hujan dimulai pada bulan Oktober hingga Desember.

Namun dengan kondisi kemarau tahun ini, dimulainya musim tanam bisa mundur sebulan menjadi November. Ini tentunya akan membuat panen padi menjadi terlambat dibandingkan waktu normal. Pada akhirnya, stok beras nasional akan berkurang untuk menutupi produksi yang telat.

"Kalau musim tanamnya mundur artinya, katakanlah kalau mundur satu bulan, berarti kan stok yang ada akan terkuras 2,5 juta ton lagi," jelas dia.

Kemarau panjang yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia telah menyebabkan dampak kekeringan bagi kebutuhan air bersih masyarakat maupun kebutuhan air bagi tanaman petani, khususnya tanaman pangan seperti padi dan jagung. Sentra pangan Indonesia yang tersebar di beberapa provinsi pun tak luput dari ancaman paceklik ini.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan meskipun kondisi musim kemarau masih terbilang normal, akan tetapi bencana kekeringan tetap melanda beberapa tempat di wilayah Indonesia.

"Khususnya di Jawa dan Nusa Tenggara. Kemarau menyebabkan pasokan air berkurang, debit sungai menurun, tinggi muka air di danau dan waduk menyusut. Sumur kering sehingga masyarakat mengalami kekurangan air," kata Sutopo.

Dia menyebut kekeringan telah melanda 11 provinsi yang terdapat di 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa yang notabene diantaranya adalah daerah-daerah sentra beras dan jagung, seperti Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, NTB, Banten, Lampung, dan beberapa provinsi lainnya.

Dikatakan Sutopo, banyak lahan pertanian mengalami puso atau rusak. Walaupun hal ini tidak berdampak secara signifikan, namun kasus ini harus juga menjadi sorotan. Sebab jika pertanian mengalami puso, tentu hal ini sangat berpengaruh dengan keadaan ekonomi masyarakat setempat.

"Ini sangat berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat selain mereka harus membeli air, masyarakat, menyewa pompa, dan sebagainya. Bayangkan, dalam kondisi ini petani harus mengeluarkan biaya tambahan Rp800 ribu untuk sewa pompa air dan membeli solar guna mengaliri sawahnya," jelasnya.

Kemarau Jangan Jadi Halangan

Petani.
Petani merontokan gabah padi di areal persawahan Desa Ciwaru, Sukabumi. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Kementerian Pertanian (Kementan) optimistis pemanfaatan musim kemarau tahun ini berhasil meningkatkan produksi padi. Menurut data Angka Ramalan (ARAM) I yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian, produksi padi tahun ini diperkirakan mencapai 83,037 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Angka ini meningkat 2,33 persen atau setara 1,89 juta ton GKG dibandingkan tahun lalu.

Sementara itu, berdasarkan data luas tanam Oktober 2017 - Agustus 2018 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, diperkirakan terjadi surplus 945 ribu ha (6,39 persen) atau setara dengan 4,74 juta ton GKG. Berdasarkan data sampai dengan sub-round II, produksi tahun ini diperkirakan akan mencapai 85,88 juta ton GKG.

Direktur Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementan, Bambang Sugiharto, mengatakan bahwa peningkatan produksi padi pada 2018 terjadi karena Indonesia mampu memanfaatkan kekeringan sebagai peluang untuk meningkatkan luas tanam dan produktivitas.

“Seperti yang pernah disampaikan oleh Pak Mentan, musim kemarau jangan dilihat sebagai halangan. Kondisi kekeringan yang biasanya menjadi hambatan justru harus diubah menjadi kesempatan untuk tingkatkan produksi padi,” ujarnya dalam keterangan pers, Kamis (27/9/2018).

Sebagai bagian dari upaya memanfaatkan musim kemarau dalam mendorong Perluasan Areal Tanam Baru (PATB), Kementan memaksimalkan pemanfaatkan lahan rawa. Kondisi kering pada musim kemarau justru menguntungkan untuk optimalisasi lahan rawa. Rawa yang semula memiliki ketinggian muka air satu meter, pada musim kemarau turun menjadi 20 – 30 cm.

Potensi lahan rawa sebelumnya memang belum dikembangkan secara maksimal.

“Dari potensi luas 12,3 juta hektare, lahan rawa baru dimanfaatkan seluas 36,8 persen atau 4,5 juta hektare,” ucap Bambang.

Optimalisasi lahan rawa dilakukan dengan menjalin kerja sama antara pemerintah pusat, TNI, pemerintah daerah, dan masyarakat. Beberapa alat berat seperti traktor digunakan untuk memungkinkan lahan rawa dipakai untuk kegiatan produksi padi.

“Kita manfaatkan teknologi, sehingga lahan rawa bisa menjadi lahan produktif,” kata Bambang.

Selain mendorong perluasan areal tanam baru, produktivitas padi juga didorong dengan penggunaan varietas unggul tahan kering, seperti padi gogo sawah dan padi gogo rawa. Padi gogo merupakan varietas unggul yang adaptif terhadap berbagai permasalahan di lahan kering, seperti kekeringan, kemasaman tanah, dan penyakit blas.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Sumarjo, Gatot Irianto, mengatakan bahwa musim kemarau bisa menjadi kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi jika dikelola dengan baik.

"Musim kemarau bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin karena hama lebih sedikit, sinar matahari cukup baik untuk fotosintesis dan proses pengeringan. Jadi kualitas gabah lebih baik, biaya produksi juga bisa ditekan,” ujarnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya