Liputan6.com, Jakarta - "Aku ingin pindah ke Meikarta". Tagline iklan ini sempat wara-wiri terlihat di layar televisi yang menawarkan salah satu proyek properti di pinggir Jakarta, sejak tahun lalu. Proyek ini pun menuai perhatian masyarakat.
Kini, Meikarta kembali menjadi sorotan masyarakat usai terkuaknya kasus suap terkait perizinan mendirikan bangunan (IMB) mega proyek tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan sejumlah tersangka kasus dugaan suap perizinan proyek pembangunan Meikarta. Mereka antara lain, Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro dan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin.
Advertisement
Baca Juga
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan sembilan orang sebagai tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (15/10/2018).
Syarif mengatakan, Bupati Neneng dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji Rp 13 miliar terkait proyek tersebut. Diduga, realiasasi pemberian sampai saat ini adalah sekitar Rp 7 miliar melalui beberapa kepala dinas.
Mencuatnya kasus ini menuai pertanyaan dan kekhawatiran dari konsumen yang sudah terlanjur membeli apartemen Meikarta.
Seperti diungkapkan Aji Nainggolan (40), yang tertarik membeli apartemen Meikarta usai kerap melihat penawaran iklan saat naik commuterline. Selain lokasi, harga yang ditawarkan proyek ini juga miring.
"Saya beli 2017, setelah Lebaran usai grand launching. Apartemen tipe 47,2 m2 harganya awal Rp 500 juta diskon harga unit dan PPN jadi Rp 350 juta," jelas dia kepada Liputan6.com.
YLKI Terima Banyak Aduan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengakui jika banyak menerima pengaduan dari calon pembeli apartemen Meikarta di Cikarang, Bekasi, yang kini tengah tersandung kasus operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK atas dugaan suap.
Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI, Sularsi mengatakan, sebagian besar aduan yang masuk ke pihaknya adalah mengenai kesulitan calon pembeli menarik kembali uang Nomor Urut Pembelian (NUP) atau booking fee dari agen pemasaran Meikarta.
"Kalau dari pengaduan yang banyak kami terima, mayoritas konsumen mengeluh karena sudah membayar booking fee yang harganya Rp 2 juta (per unit apartemen Meikarta), tapi enggak bisa ditarik," jelas Sularsi.
Dia menyayangkan hal itu terjadi, sebab YLKI sejak jauh-jauh hari sudah memperingatkan masyarakat agar teliti dan waspada dalam membeli hunian yang secara perizinan tidak beres.
"Meikarta itu kan sebelumnya ramai mengiklankan di mana-mana soal pembelian hunian dengan booking fee murah dan pihak marketing janji itu bisa dikembalikan. Tapi sekarang, semuanya cuma janji manis," keluhnya.
Kembali dia mengimbau masyarakat agar tidak mudah tertipu oleh iklan pemasaran suatu hunian sebelum ada kejelasan mengenai legalitas perizinan pembangunan.
"Kami dari dulu sudah berikan public warning untuk tidak melakukan transaksi apa pun kepada proyek yang belum jelas legalitas perizinannya. Itu supaya nantinya enggak menimbulkan masalah," dia menambahkan.
Bahkan Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mendesak manajemen Meikarta untuk segera menjelaskan kepada publik terkait keberlanjutan proyek hunian berbentuk apartemen tersebut, apakah akan dilanjutkan atau diberhentikan.
Tulus pun turut memperingatkan pemerintah, untuk menjamin hak-hak keperdataan konsumen yang sudah melakukan transaksi pembelian, bila sampai proyek Meikarta nantinya harus dihentikan akibat perizinan yang belum beres atau masalah lainnya.
"Negara harus hadir menjamin hak-hak keperdataan konsumen yang sudah telanjur melakukan transaksi pembelian. Sebab bagaimanapun hal ini merupakan tanggung jawab negara, dan merupakan kegagalan negara dalam melakukan pengawasan," tegasnya.
Advertisement
Tak Ganggu Industri Properti
Munculnya kasus suap yang membelit Meikarta dinilai tidak akan mengganggu pasar properti dalam negeri. Namun adanya kasus ini sangat disayangkan di tengah upaya untuk menekan tingginya angka kekurangan pasokan (backlog) perumahan.
Pengamat Properti Anton Sitorus mengatakan, saat ini permintaan akan hunian masing sangat besar dengan backlog perumahan hingga mencapai 11 juta. Oleh sebab itu, munculnya kasus seperti Meikarta diyakini tidak akan mengurangi minat masyarakat untuk memiliki tempat tinggal.
"Kalau menurut saya tidak (mengganggu pasar properti). Lippo sendiri proyeknya banyak dan proyek lain tidak ada masalah. Terlebih permintaan akan hunian besar sekali, jadi tidak berpengaruh karena kebutuhan itu tetap ada," ujar dia.
Namun demikian, dia menyayangkan adanya kasus seperti ini. Sebab, sebagai pengembang besar, Lippo Group seharusnya telah memiliki pengalaman dalam memecahkan masalah terkait perizinan.
"Pengembang besar biasanya mereka sudah punya pengalaman. Tapi ini kebetulan saja ada hal yang kurang pas untuk masalah perizinannya. Mungkin ada banyak faktor, mungkin pemerintah daerahnya kurang kooperatif, bagaimana aspirasinya," kata dia.
Lebih jauh lagi, dia menilai proyek besar seperti Meikarta seharusnya mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah. Sebab, adanya proyek ini bukan hanya mampu membantu menurunkan angka backlog perumahan, tetapi juga menghidupkan perekonomian di daerah.
"Karena proyek Meikarta ini sebenarnya imbas terhadap perekonomian akan besar, sumbangsih terhadap pemenuhan kebutuhan perumahan juga besar. Sekarang pengembang yang mau membuat township dalam jumlah besar hampir enggak ada. Ini bisa menggerakkan perekonomian lokal, membuka lapangan kerja. Tapi terjadi seperti ini, sangat disayangkan," tandas dia.
Sementara pengusaha lain yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) menyatakan tidak ikut campur dalam masalah yang tengah dihadapi salah satu pengembang properti terkemuka di Indonesia, Lippo Group. Sebab, masalah ini sudah masuk ke ranah hukum.
"Kan ada sisi hukum, itu ada urusan hukum. Tapi kalau sudah masuk ke (ranah) hukum, apalagi hukum pidana, kita tidak ikut-ikut. Biarlah berjalan sesuai dengan prosesnya," ujar Sekretaris Jenderal DPP REI Paulus Totok Lusida.
Sementara terkait dengan nasib konsumen setelah munculnya kasus ini, Paulus menyatakan ada proses untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun yang pasti REI selalu meminta para anggotanya untuk bisa bekerja secara profesional.
"Kita kan berusaha untuk membuat anggota profesional. Nanti hukumnya ada, caranya untuk menyelesaikan," ungkap dia.
Ganggu Kinerja Lippo Group
Kasus suap Meikarta pun menggangu kinerja Lippo Group. Dari sisi keuangan hingga saham perusahaan.
Lembaga pemeringkat internasional S&P Global Ratings menilai likuiditas dan arus kas akan tetap menjadi faktor pemeringkat utang PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR).
Hal ini seiring dampak kasus dugaan suap izin proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi menimbulkan pertanyaan mengenai tata kelola internal perusahaan.
S&P percaya Lippo memiliki penyangga likuiditas yang tipis. S&P menilai dampak kasus dugaan suap terhadap kemajuan dan arus kas proyek pengembangan properti terbesar perusahaan yaitu Meikarta dapat beri tekanan lebih lanjut bagi likuiditasnya.
Perkembangan terakhir dapat pengaruhi konstruksi Meikarta dan kepercayaan pelanggan, pengaruhi penjualan properti dan penerimaan kas.
"Lippo mungkin perlu menyuntik modal jika proyek tidak mampu didanai sendiri secara mandiri dan membutuhkan lebih banyak modal," seperti dikutip dari laporan S&P.
S&P menilai, penjualan aset Lippo pada 2018 akan beri keringanan likuiditas sementara untuk perusahaan. Namun, S&P yakin perusahaan akan terus hadapi tekanan likuiditas karena penjualan aset hanya cukup untuk penuhi kebutuhan pembayaran utang selama satu tahun ke depan.
"Lippo perlu mengumpulkan dana tambahan untuk memenuhi kebutuhan masa depannya," tulis S&P.
Usai kasus suap, saham Lippo sempat tertekan. Ini terlihat pada pergerakan saham grup Lippo selama periode 15-18 Oktober 2018.
Berdasarkan data RTI, Jumat (19/10/2018), saham PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) ditutup stagnan ke posisi Rp 1.330 per saham pada perdagangan saham 18 Oktober 2018.
Namun, saham PT Lippo Cikarang Tbk cenderung tertekan selama sepekan ini periode 15-18 Oktober 2018. Apalagi usai mencuatnya kasus dugaan suap izin proyek Meikarta.
Selama periode 15-18 Oktober 2018, saham PT Lippo Cikarang Tbk tertekan 18,15 persen ke posisi Rp 1.330 per saham. Total frekuensi perdagangan saham 5.794 kali dengan nilai transaksi Rp 27,2 miliar.
Sementara itu, saham PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) merosot 8,05 persen ke posisi Rp 274 per saham . Sepanjang periode 15-18 Oktober 2018, saham LPKR sempat berada di posisi tertinggi Rp 308 per saham dan terendah Rp 256 per saham. Total frekuensi perdagangan saham sebanyak 5.003 kali dengan nilai transaksi Rp 176 miliar.
Analis PT Binaartha Sekuritas, Nafan Aji menuturkan, saham PT Lippo Cikarang Tbk cenderung tertekan sejak Juni 2015. Hal tersebut didorong dari kinerja fundamental.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan kuartal I 2018, tercatat laba periode berjalan yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk turun 66,71 persen dari Rp 214,63 miliar pada kuartal I 2017 menjadi Rp 71,4 miliar.
Selain itu, pendapatan merosot 28,55 persen dari posisi Rp 447,36 miliar pada kuartal I 2017 menjadi Rp 319,63 miliar pada kuartal I 2018. Kini dengan ada kasus dugaan suap terhadap proyek Meikarta menambah tekanan terhadap saham LPCK.
Seperti diketahui, proyek Meikarta merupakan proyek perusahaan properti PT Lippo Cikarang Tbk dan PT Lippo Karawaci Tbk. Proyek tersebut dikerjakan PT Mahkota Sentosa Utama yang merupakan anak usaha PT Lippo Cikarang Tbk.
Nafan menilai, pelaku pasar cenderung wait and see dengan ada kasus dugaan suap terhadap proyek Meikarta. Hal tersebut menekan laju saham emiten properti grup Lippo.
"Tren (saham Lippo Karawaci dan Cikarang) masih belum menunjukkan tanda-tanda positif. Pelaku pasar wait and see. Kinerja fundamental turun lebih kepada kasus Meikarta on progress sebelumnya. OTT dan pengeledahan oleh KPK,” ujar Nafan saat dihubungi Liputan6.com.
Ia menuturkan, pelaku pasar ingin kepastian hukum terkait kasus dugaan suap proyek Meikarta. Hal itu terkait bagaimana dengan kelanjutan proyek Meikarta ke depan.
Advertisement
Proyek Tetap Berlanjut
Proses pembangunan Meikarta dipastikan akan tetap berlanjut di tengah kasus suap yang membayangi proyek properti di pinggir Jakarta ini. Ini diungkapkan kuasa hukum pengelola proyek Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama (PT MSU) Denny Indrayana.
"Kami dapat meneruskan pembangunan yang telah dan masih berjalan, sesuai dengan komitmen kepada pembeli, serta upaya dan kontribusi kami untuk membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia," ujar dia saat dikonfirmasi Liputan6.com, Jumat (19/10/2018).
Baca Juga
Dia mengatakan, selaku pihak yang mengerjakan proyek Meikarta, PT MSU akan bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan lain yang berkaitan dengan pembangunan di Meikarta.
"Ini agar semua prosesnya berjalan baik dan lancar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," dia menambahkan.
Lippo Group dikatakan juga akan menghormati langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penyelidikan yang tengah berlangsung.
"Akhirnya, kami juga akan tetap menghormati dan terus bekerjasama dengan KPK, untuk menuntaskan proses hukum yang sekarang masih berlangsung," tegas dia.
Sementara Direktur Humas Lippo Group Danang Kemayan Jati saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya menyerahkan masalah tersebut kepada tim kuasa hukum PT Mahkota Sentosa Utama.
Kuasa hukum yang berhak menjawab perihal kasus yang melanda Meikarta. "Silahkan hubungi Pak Denny Indrayana ya untuk ini. Tim mereka yang akan menjawab," tuturnya saat dihubungi Liputan6.com, hari ini.
Di sisi lain, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk sebagai salah satu bank yang memfasilitasi Kredit Pemilikan Apartment (KPA) Meikarta saat ini tetap menjalankan proses kredit tersebut tanpa ada kendala.
"Proses seperti biasa, kalau yang masih ada kewajiban angsuran ya bayar setiap bulan seperti biasa. Tidak ada penghentian," tegas Sekretaris Perusahaan Ryan Kiryanto.
Dia juga menegaskan, saat ini BNI tidak menghentikan proses kredit KPA untuk Meikarta. Yang dilakukan perusahaan hanya menyampaikan apa yang terjadi kepada para kreditornya, baik untuk KPA baru atau yang eksisting.
"Jadi kalau mau ajukan KPA kita masih terima dan proses, hanya saja kita sampaikan kalau kondisinya seperti ini, kita juga review," tegas dia.
Hingga kini BNI juga belum menerima pengaduan dari nasabah yang menjadi debitor Meikarta. Ryan mengaku, apa yang terjadi ini memang belum pernah dialami BNI.