China Pangkas Harga BBM

China memangkas harga eceran bensin dan solar mulai Sabtu 3 November 2018. Ini penurunan terbesar sejak Desember 2018.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Nov 2018, 20:30 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2018, 20:30 WIB
Bendera China
Ilustrasi (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - China  memangkas harga eceran bensin dan solar mulai Sabtu 3 November 2018. Ini penurunan terbesar sejak Desember 2018.

Hal itu seperti disampaikan lembaga perencana ekonomi utama China pada Jumat 2 November 2018. Menurut Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC), berdasarkan perubahan harga minyak internasional, harga eceran bensin dan solar akan dipotong masing-masing sebesar 375 yuan (sekitar USD 54) dan 365 yuan.

Berdasarkan mekanisme penetapan harga saat ini, bila harga minyak mental internasional berubah lebih dari 50 yuan per ton dan tetap pada tingkat itu selama 10 hari kerja, harga produk minyak sulingan seperti bensin dan solar di China akan disesuaikan. Demikian mengutip laman Antara, Sabtu (3/11/2018).

Harga minyak internasional telah jauh karena kenaikan stok minyak AS, harapan penurunan permintaan dan peningkatan pasokan oleh negara-negara produsen minyak, berdasarkan pusat pemantauan harga NDRC.

Lembaga itu prediksi harga minyak global akan terus bergejolak dalam jangka pendek. NDRC telah meminta perusahaan minyak utama China, termasuk China National Petroleum, China Petrochemical dan China National Offshore Oil untuk memastikan pasokan yang stabil dan menerapkan kebijakan harga.

NDRC akan memantau secara ketat dampak mekanisme penetapan harga saat ini dan memperbaiki untuk menanggapi fluktuasi global.

 

Ekonomi China Tumbuh Melambat pada Kuartal III

Kota Terlarang di China
Sejumlah pengunjung berjalan di Forbidden City atau Kota Terlarang di Beijing, (7/3). Kota Terlarang, merupakan istana terisolasi kaisar Qing dan Dinasti Ming China untuk tempat wisata utama yang terletak di pusat ibu kota. (AP Photo/Aijaz Rahi)

Sebelumnya, ekonomi China tumbuh melambat pada kuartal III 2018. Tampaknya perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi China.

Negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini membukukan pertumbuhan ekonomi 6,5 persen pada kuartal III 2018. Pertumbuhan tersebut paling lemah sejak krisis keuangan global pada awal 2009. Pertumbuhan ekonomi itu bahkan di bawah harapan ekonom sekitar 6,6 persen.

Ekonomi China kehilangan momentum pada 2018 menyusul upaya pemerintah mencoba mengendalikan tingkat utang yang tinggi. Ditambah tekanan dari AS dengan penerapan tarif impor terhadap barang China sekitar USD 250 miliar.

Pemerintahan China tak berdiam diri. Para pejabat China keluarkan sejumlah kebijakan untuk topang pertumbuhan ekonomi mulai dari pemangkasan pajak, pengeluaran biaya infrastruktur dan kebijakan moneter yang lebih longgar.

"Kami pikir pelonggaran lebih lanjut masih akan diperlukan untuk stabilkan pertumbuhan," ujar Ekonom Senior Capital Economics, Julian Evans-Pritchard, seperti dikutip dari laman CNN Money, Jumat 19 Oktober 2018.

Ia prediksi, perlambatan pertumbuhan ekonomi akan turun pada pertengahan 2019.

Sebelumnya pasar saham dan mata uang China dalam beberapa bulan terakhir terkena dampak kekhawatiran ekonomi dan perang dagang. Dengan rilis pertumbuhan ekonomi China pada Jumat pekan ini, pejabat ekonomi dan keuangan China berupaya berkoordinasi meredakan kekhawatiran investor.

Pimpinan Bank Sentral China, Yi Gang, menuturkan tekanan di pasar saham tidak mencerminkan keadaan ekonomi. Ia menilai, pergerakannya stabil bergerak maju. Yi Gang menuturkan, pemerintah akan ambil lebih banyak langkah untuk dukung ekonomi.

Hal senada dikatakan oleh regulator sekuritas dan perbankan China. Pada perdagangan Jumat sore waktu setempat, indeks saham Shanghai naik dua persen.

Meski pertumbuhan melambat, China masih berada di jalur untuk memenuhi target pertumbuhan pemerintah pada 2018 sekitar 6,5 persen. Sejumlah ahli pun meragukan ketepatan data ekonomi China yang resmi. Hal itu termasuk output listrik dan pengiriman kargo yang menggabarkan lebih jelas apa yang terjadi.

Adapun ketegangan perang dagang dengan AS kemungkinan bebani China pada kuartal mendatang. Pemerintahan AS di bawah pimpinan Presiden AS Donald Trump berencana menaikkan tarif impor barang China senilai USD 200 miliar dari 10 persen menjadi 25 persen pada akhir 2018.

Trump menyatakan pihaknya siap untuk menaikkan tariff secara efektif mencakup ekspor China ke AS yang lampaui USD 500 miliar pada tahun lalu.

Ekspor China tumbuh kuat pada September 2018. Namun, analis menuturkan, hal itu didorong perusahaan yang bergegas untuk mengirimkan barang sebelum tariff baru AS diberlakukan pada akhir bulan.

Para pejabat China mengakui bulan-bulan yang sulit terbentang untuk ekspor. Tekanan lebih lanjut mungkin berasal dari potensi perlambatan pertumbuhan global tahun depan. “Yang terburuk belum datang,” ujar Ekonom Daiwa Capital, Kevin Lai.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya