Dampak Penerapan Kebijakan B20 Baru Terasa di 2019

Perluasan penggunaan B20 juga bertujuan untuk meningkatkan ekspor pasar minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

oleh Bawono Yadika diperbarui 16 Nov 2018, 16:04 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2018, 16:04 WIB
(Foto:Liputan6.com/Ilyas I)
Peluncuran perluasan penerapan Biodiesel 20 persen (Foto:Liputan6.com/Ilyas I)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor Indonesia pada Oktober 2018 mencapai USD 17,62 miliar. Angka itu naik 20,60 persen jika dibandingkan dengan September 2018.

Adapun kenaikan impor salah satunya dipicu tingginya impor pada sektor (migas) sebesar USD 2,91 miliar atau naik 26,97 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, pemerintah telah berupaya menurunkan impor pada industri migas. Salah satu upaya tersebut ialah pengimplementasian perluasan penggunaan biodesel sebesar 20 persen (B20).

"Kalau migas (defisit) itu kan sudah dikeluarkan B20, itu diarahkan untuk turunkan defisit migas dengan konversi minyak dalam negeri ke biodisel," jelas dia di Jakarta, Jumat (16/11/2018).

Di sisi lain, perluasan penggunaan B20 juga bertujuan untuk meningkatkan ekspor pasar minyak sawit mentah atau crude palm poil (CPO).

"Jadi kebijakan B20 memang diarahkan untuk turunkan defisit migas dengan konversi minyak dalam negeri ke biodisel. Itu supaya atau sehingga bisa tingkatkan ekspor CPO," ujar dia.

Perry menegaskan, dampak penggunaan B20 tidak bisa dirasakan dalam waktu cepat. Perluasan penggunaan B20 baru mulai terasa pada 2019.

"Ya tentu saja inikan sudah berdampak. Pemerintah sudah keluarkan itu. Jadi dampaknya 2019 dan seterusnya baru terasa," dia menandaskan.

Menko Darmin Minta Pertamina Kurangi Lokasi Penyaluran FAME

Mangkir Mencampur Biodiesel dengan Solar, Siap Kena Denda
Pemerintah ingin menegakkan peraturan lebih ketat agar industri melaksanakan amanat tersebut.

Pemerintah Jokowi-JK resmi meluncurkan perluasan penggunaan biodisel 20 persen (B20) untuk public service obligation (PSO) dan non-PSO pada 1 September 2018. Namun dalam realisasinya, kebijakan ini masih menemui beberapa kendala seperti halnya penyaluran Fatty Acid Methyl Ester (FAME).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pihaknya tengah berupaya meminta Pertamina untuk mengurangi beberapa titik lokasi penyaluran FAME. Sebab, semakin banyak lokasi maka ketersediaan kapal yang dibutuhkan pun lebih banyak juga.

"Ada masalah pencampurannya terlalu banyak titiknya sehingga kapal yang diperlukan banyak. Itu sekarang mulai kami kurangi, kami minta Pertamina untuk kurangi supaya jangan kemudian perlu kapalnya banyak," kata Damrin di Kantornya, Jakarta, Kamis (15/11/2018) malam.

Darmin pun menginginkan supaya ada semacam penyimpanan apung (floating storage) untuk menampung FAME dari kapal-kapal pengangkut.

"Kami malah sedang menyiapkan harus ada floating storage. Kalau itu tidak ada, gini dulu waktu PSO aja itu tankinya oke masih cukup. Tapi begitu masuk non-PSO itu tankinya kurang. dia tiba-tiba perlu yang tadinya tankinya satu cukup sekarang dua," katanya.

Darmin mengatakan, untuk floating storage sendiri akan disediakan oleh Pertamina, yang kemudian nantinya akan disewakan oleh perusahaan yang menyediakan FAME.

"Tapi itu kita sudah ketemu solusinya artinya kalau floating storage sudah ada tinggal penempatan yang tidak akan memakan waktu banyak," imbuhnya.

Meski masih ada beberapa kendala di lapangan, implementasi B20 sendiri dikatakan Darmin sudah nyaris 100 persen. "Sebetulnya di dalam ini kita N20 itu akan optimal artinya mendekati 100 persen dari potensinya itu di Desember," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya