Kemenperin Bantah Indonesia Alami Deindustrialisasi

Salah satu gejala dari deindustrialisasi yaitu penurunan kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional.

oleh Septian Deny diperbarui 14 Apr 2019, 16:22 WIB
Diterbitkan 14 Apr 2019, 16:22 WIB
20160126-Produksi-Kijang-Inova-serta-Fortuner-Jakarta-IA
Pekerja menyelesaikan pembuatan mobil di pabrik Karawang 1 PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Jawa Barat, Selasa (26/1). Pabrik ini memproduksi Kijang Innova serta Fortuner mencapai 130.000 unit pertahun. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membantah jika Indonesia tengah mengalami fase deindustrialisasi. ‎Meski saat ini pertumbuhan industri menurun dan berada di bawah pertumbuhan ekonomi.

Sekretaris Jenderal Kemenperin Haris Munandar mengatakan, salah satu gejala dari deindustrialisasi yaitu penurunan kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Meski terjadi penurunan, namun kontribusi industri terhadap PDB masih cukup besar yaitu sekitar 22 persen.

‎"(Gejala deindustrialisasi) Pertama, kontribusi industri terhada PDB sangat rendah, artinya menurun drastis. Ini sekarang kan masih cukup tinggi. Memang secara persentase agak turun, tetapi kan ekonomi sudah tumbuh, investasi jalan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu (14/4/2019).

Kemudian, gejala lain dari deindustrialisasi yaitu penurunan jumlah dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Menurut Haris hal tersebut juga tidak terjadi saat ini.

"Kedua, dari sisi tenaga kerja dia mengalami penurunan. Sekarang kita tiap tahun masih butuh tenaga kerja yang besar. Kita selalu ada program link ank match. Artinya kebutuhan tenaga kerja di industri itu besar. Cuma masalahnya tidak link dan tidak match dengan kebutuhan industri. Tahun ini kita sudah sekitar 18 juta tenaga kerja (di industri) dan tiap tahun diharapkan terjadi penyerapan tenaga kerja sekitar 600 ribu orang," jelas dia.

Melihat dua hal ini, lanjut Haris, pernyataan Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto terkait deindustrialisasi yang disebut tengah melanda Indonesia tidak terbukti. Selain itu, industri Indonesia juga masih punya potensi untuk tumbuh dengan masuknya era revolusi industri ke-4 (industri 4.0).

"Dengan dua hal itu, tidak terbukti deindustrialisasi.‎ Mereka kan hanya mendengar orang-orang yang ngomong. Tetapi yang ngomong orang yang tidak mengerti industri," tandas dia.

 

Indonesia Peringkat Tertinggi

Mengintip Pabrik Mercedes Benz di Wanaherang Bogor
Pekerja menyelesaikan perakitan mobil Mercedes Benz di Pabrik Mercedes Benz, Wanaherang, Bogor (11/12). Mercededes-Benz C-Class generasi terbaru kini resmi masuk jalur produksi pabrik Mercedes-Benz di Wanaherang, Bogor. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, berdasarkan laporan World Bank pada 2017, Indonesia mampu menempati peringkat tertinggi di ASEAN untuk kontribusi sektor manufaktur terhadap ekonomi dunia dengan porsi 20,5 persen.

"Dari capaian tersebut, Indonesia menempati peringkat kelima dunia untuk negara-negara yang tergabung di G20," ungkap dia.Sedangkan, merujuk data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia dari 15 negara yang kontribusi industri manufakturnya terhadap produk domestik bruto (PDB) di atas 10 persen.

"Kita sering mendengar deindustrialisasi itu karena kontribusi manufaktur ke PDB harus di atas 30 persen. Kalau kita melihat data UNIDO dan World Bank, kontribusi sektor manufaktur di dunia tidak ada yang di atas 30 persen," kata dia.

Data UNIDO menunjukkan, di negara industri, rata-rata sektor manufakturnya menyetor ke PDB hanya mencapai 17 persen. Sementara Indonesia mampu menyumbang hingga 22 persen, di bawah Korea Selatan (29 persen), China (27 persen), dan Jerman (23 persen).

Namun, Indonesia melampaui perolehan Meksiko (19 persen) dan Jepang (19 persen). Sedangkan, negara-negara dengan kontribusi sektor industrinya di bawah rata-rata 17 persen, antara lain India, Italia, Spanyol, Amerika Srikat, Rusia, Brasil, Perancis, Kanada dan Inggris.

Di samping itu, melihat hasil survei Nikkei dan IHS Markit, Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia selama periode Januari-November 2018 masih di atas level 50, yang menunjukkan manufaktur tetap ekspansif. Pada November 2018, PMI Manufaktur Indonesia menduduki peringkat ke-4 di tingkat Asean, melampaui capaian Thailand (49,8), Malaysia (48,2), dan Singapura (47,4).

Prabowo Sebut RI dalam Kondisi Deindustrialisasi

Gaya Pasangan Capres-Cawapres Saat Adu Gagasan di Debat Pilpres
Capres dan Cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berbincang saat mengikuti Debat Pilpres 2019 kelima di Jakarta, Sabtu (13/4). Debat kelima merupakan debat terakhir yang mengambil tema Ekonomi, Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Untuk diketahui, Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto menyatakan jika Indonesia telah mengalami deindustrialisasi. Hal ini ditandai dengan banyaknya produk impor yang membanjiri Indonesia.

"Telah terjadi deindustrialisasi, sekarang bangsa Indonesia tidak produksi apa-apa. Kita hanya bisa menerima bahan produksi dari bangsa lain," ujar dia dalam Debat ke-5 di Jakarta, Sabtu (13/4/2019).

 

Prabowo mengungkapkan, masalah ini harus segera diatasi. Capres nomor urut 02 tersebut mengaku telah memiliki strategi untuk mengubah masalah ini.

"Ini keliru dan harus dirubah, kami punya strategi, kami menilai bangsa ini menyimpang dari filosofi dan tidak punya prinsip," ungkap dia.

Sebelumnya, Calon Presiden Prabowo Subianto mengatakan Indonesia berada dalam arah yang salah. Hal ini membuat peningkatan kesejahteraan masyarakat semakin sulit untuk tercapai.

‎"Kami berpandangan bahwa bangsa kita sekarang ini berada dalam arah yang salah. Kalau diteruskan, tidak memungkinkan membawa kesejahteraan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia," ujar dia dalam debat ke-5 di Jakarta, Sabtu (13/4/2019).

Prabowo mengungkapkan, salah satu hal yang menurutnya salah arah yaitu soal banyaknya kekayaan Indonesia yang mengalir keluar negeri selama ini. ‎

"Dalam Undang-Undangan 1945 sangat jelas bahwa kita tidak bisa membiarkan kekayaan nasional mengalir ke luar negeri yang juga diakui pemerintah sekarang, kekayaan Indonesia mengalir keluar negeri. Lebih banyak uang orang Indonesia di luar negeri," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya