Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghadiri rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rapat kerja tersebut terkait penjelasan pemerintah mengenai asumsi dasar kerangka asumsi ekonomi makro yang akan dimasukkan dalam Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.
Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menargetkan pertumbuhan investasi sebesar 7 persen hingga 7,4 persen di 2020.
"Kami untuk dukung asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen hingga 5,6 persen, dengan investasi tumbuh 7 hingga 7,4 persen," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/6).
Advertisement
Baca Juga
Sri Mulyani melanjutkan, pertumbuhan investasi selama ini belum pernah double digit atau dua angka. Pada 1980, investasi pernah tumbuh tinggi saat tren industrialisasi mencapai kinerja terbaik, tapi belum menyentuh angka 10 persen.
"Dari sisi investasi tumbuhnya relatif di bawah. Tahun 80-an sentuh angka 8,7 persen, tapi lebih tinggi tahun 90 hingga 2000 di mana tren deindustrialisasi tumbuhnya cukup tinggi, tapi tetap tidak di atas 7 persen," jelasnya.
Sementara itu, untuk tahun ini pemerintah masih optimistis pertumbuhan investasi capai 7 persen walaupun kondisi ekonomi global terus bergejolak.
"Tahun 2019 dengan asumsi 7 persen dan kita lihat 2018 mendekati 6,9 persen. Kita waspada 2019 pertumbuhan ekonomi melemah terutama di PMTB,"Â ucap Sri Mulyani.
Â
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Target Pertumbuhan Ekonomi 5,6 Persen di 2020 Bisa Tercapai
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah, menilai target pertumbuhan ekonomi yang diusulkan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2020 sebesar 5,3-5,6 persen bisa saja terealisasi. Asalkan pemerintah fokus dan melakukan terobosan baru dalam mengejar target tersebut.
"Target pertumbuhan 5,3-5,6 persen bagaimana kita melihatnya. Dia menjadi tidak realistis kalau angka itu diliat hanya berdasarkan historis kita," katanya saat dihubungi merdeka.com, Senin (17/6).
Dia mengatakan selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dilihat berdasarkan dari historisnya saja, yakni di kisaran 5 persen atau stagnan dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, kata dia, perlu ada terobosan baru untuk keluar dari jeratan pertumbuhan ekonomi tersebut.
"Kalau pemerintah menjabarkan angka 5,3-5,6 persen dengan terobosan baru strategi baru program baru, nah maka 5,3-5,6 persen itu bahkan menurut saya terlalu kecil. Terlalu kecil kalau dibandingkan potensi yang kita punya," pungkasnya.
Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira justru menilai sangat tidak realistis angka tersebut dipatok di tengah kondisi ekonomi global yang sedang bergejolak. Belum lagi pengaruh dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Target pertumbuhan ekonomi pemerintah kurang realistis dan ketinggian. Apalagi perang dagang makin memanas di 2020," kata Bima.
Kendati begitu, Bima mengatakan untuk menopang target pertumbuhan ekonomi tersebut pemerintah bisa saja melakukan dengan menawarkan paket insentif bagi investor yang mau relokasi pabrik dari China dan AS. Salah satu contohnya, Indonesia dapat meniru Vietnam yang lebih dulu melakukan penawaran insetif tersebut.
"Pemerintah Vietnam sudah lebih dulu tawarkan paket insentif, sehingga jadi pemenang dalam trade war," katanya.
Advertisement
Infrastruktur Jadi Modal Dasar RI Keluar dari Jebakan Kelas Menengah
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira mengatakan, pembenahan daya saing menjadi kunci utama agar Indonesia bisa terlepas dari jebakan negara berpendapatan kelas menengah atau middle income trap.
Untuk bisa memperbaiki daya saing, ia menekankan, pembangunan infrastruktur harus dilakukan secara masif. "Perbaikan signifikan dalam komponen infrastruktur jadi kunci utama perbaikan daya saing karena berkaitan dengan konektivitas dan penurunan biaya logistik," ucapnya kepada Liputan6.com, Minggu (16/6/2019).
Dia menyatakan, perbaikan infrastruktur dalam hal ini memang memainkan peran penting, sebab Indonesia sebelumnya harus menghadapi mahalnya biaya logistik sebesar 24 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Â
"Pembangunan infrastruktur, khususnya penunjang logistik darat dan laut yang turunkan logistic cost, bisa membuat harga produk lebih kompetitif, khususnya yang berorientasi ekspor. Jadi, pembangunan infrastruktur yang mendorong turunnya biaya logistik harus dilanjutkan," dia menambahkan.
Selain biaya logistik, ia melanjutkan, pembangunan infrastruktur juga berkaitan dengan efisiensi investasi. Bhima mencatat, rasio antara investasi dengan pertumbuhan output atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia saat ini masih berada di atas 6 persen, di mana idealnya ada di bawah 3 persen.
"ICOR yang tinggi menunjukkan biaya untuk investasi cukup mahal di Indonesia alias kurang efisien. Jadi, semakin baik infrastrukturnya, semakin rendah ICOR-nya," jelas dia.
Menperin: Insentif Pengurangan Pajak 300 Persen Tunggu Tanda Tangan Jokowi
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa insentif pengurangan pajak hingga 300 persen atau disebut super deductible tax tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Super deductible tax tinggal tanda tangan Presiden dan diharapkan bisa langsung diimplementasikan," kata Airlangga, dikutip dari Antara, Kamis (13/6/2019).
Melalui aturan tersebut, pemerintah akan mengatur tentang potongan pajak untuk industri yang berinvestasi bidang pusat penelitian dan pengembangan atau Research and Development (R&D center).
"Kalau di Indonesia (potongannya) sampai 300 persen. Jadi bervariasi. Berdasarkan apanya nanti menunggu Peraturan Menteri Keuangan (PMK)," ujar Airlangga.
Menurut Airlangga, aturan super deduction tax akan dirampungkan bersamaan dengan potongan pajak untuk industri yang berkontribusi di bidang pendidikan vokasi.
"Super deduction akan diselesaikan bersaman dengan vokasi, sudah selesai, seluruh kementerian sudah sinkronisasi," ungkap Menperin.
Menperin menyampaikan, aturan yang diyakini terbit pada Semester I Tahun 2019 ini akan mendorong perusahaan industri untuk melakukan inovasi.
Advertisement