Liputan6.com, Jakarta Produsen obat dan farmasi di dalam negeri berharap pemerintah memberikan insentif berupa pengurangan pajak bagi industri farmasi. Hal ini guna mendukung pengembangan industri tersebut.
Direktur Utama PT Ferron Par Pharmaceuticals, Krestijanto Pandji mengatakan, selama ini industri obat dan farmasi masih belum merasakan insentif pajak dari pemerintah, termasuk untuk pengembangan dan inovasi produk-produknya.
"Harapannya ada tax insentif. (Selama ini belum ada insentif?) Belum. Selama ini kita sisihkan 5 persen dari pendapatan untuk kembangkan produk, meski belum ada insentif pajak untuk R&D (research and development," ujar dia di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (2/7/2019).
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, sebenarnya sektor industri termasuk industri farmasi bisa mendapatkan insentif pajak berupa tax holiday jika dia melakukan investasi atau ekspansi pabriknya di dalam negeri.
"Pak Menteri Perindustrian selalu mendorong industri ini karena masuk dalam lima industri prioritas. Sudah ada tax holiday yang bisa dimanfaatkan oleh industri, termasuk untuk industri farmasi," jelas dia.
Sementara dalam rangka penelitian dan pengembangan (R&D), lanjut Sigit, pemerintah saat ini tengah menggodok kebijakan insentif pajak terbaru yaitu super deductible tax berupa pengurangan pajak hingga 200 persen.
"Kita sedang bicarakan terkait insentif dengan Kementerian Keuangan. Kita juga siapkan super deductible tax untuk semua industri yang lakukan R&D, yaitu insentif pajak hingga 200 persen," tandas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kemenperin Incar Pertumbuhan Industri Kaca Farmasi 5 Persen
Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto menyebut, pertumbuhan kebutuhan produk primer berbahan baku kaca untuk industri farmasi dalam negeri saat ini rata-rata per tahun baru sebesar tiga persen.
Itu terdiri dari konsumsi produk ampul sebesar 700 juta pcs per tahun dan produk vial sebesar 500 juta pcs per tahun.
Airlangga mengatakan, dengan pertumbuhan yang baru mencapai tiga persen tersebut, Kementerian Perindustrian akan terus berbenah agar dapat meningkatkan nilai pertumbuhan tersebut.
Pihaknya menargetkan, pertumbuhan kebutuhan terhadap produk kaca farmasi dapat berada di atas lima persen pada 2019.
"(Kita targetkan) bisa lebih dari 5 persen, di atas 5 persen. Karena kita lihat pertumbuhan pengguna universal BPJS itu naiknya tinggi," kata Airlangga saat ditemui di Cikarang, Jawa Barat, Rabu (24/4/2019).
Advertisement
Menperin Minta Pelaku Industri Farmasi RI Garap Pasar Afrika dan Eropa
Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto mendorong, industri farmasi dalam negeri untuk memperluas pasar ekspornya ke negara nontradisional. Hal ini guna menekan defisit necara perdagangan industri farmasi Indonesia.
Dia menjelaskan, saat ini, neraca ekspor-impor industri farmasi masih menunjukkan defisit. Meski pun nilai ekspor pada 2018 tercatat sebesar USD 1.136 juta atau meningkat dibandingkan 2017 sebesar USD 1.101 juta.
Namun demikian, lanjut Airlangga, potensi untuk meningkatkan ekspor produk farmasi masih sangat terbuka. Terlebih saat ini Indonesia telah memasuki era industri 4.0 yang merupakan era transformasi digital yang akan menciptakan nilai tambah baru pada industri farmasi.
"Pemanfaatan teknologi dan kecerdasan digital mulai dari proses produksi dan distribusi memberikan peluang baru serta meningkatkan daya saing industri farmasi," ujar dia di Pabrik PT Bayer Indonesia, Cimanggis, Depok, Rabu (27/3/2019).
Menurut Airlangga, masih banyak pasar-pasar baru yang bisa digarap oleh industri farmasi di Indonesia. Salah satunya yaitu pasar Afrika yang membutuhkan banyak pasokan produk farmasi.
"Diharapkan dapat mendorong industri farmasi untuk mengembangkan pasar ekspor, khususnya pasar ekspor non-tradisional seperti Amerika Latin, Eropa Timur, Rusia hingga Afrika," tandas dia