Gita Wirjawan Beberkan 3 Isu Penting dalam Pemulihan Ekonomi Pasca Corona

Prinsip pemulihan ekonomi yang tertuang dalam Perppu No.1 Tahun 2020.

oleh Tira Santia diperbarui 18 Mei 2020, 10:44 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2020, 10:44 WIB
Target Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2018
Pemandangan deretan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, Jumat (29/9). Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakinkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sebesar 5,4 persen tetap realistis. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Prinsip pemulihan ekonomi yang tertuang dalam Perppu No.1 Tahun 2020 dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23  yang memuat tahapan awal pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi covid-19 dinilai sebagai gagasan yang luar biasa.

“Pemerintah sudah mengeluarkan Perppu No.1 Tahun 2020 yang sudah disetujui di sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang (UU) pada tanggal 12 Mei 2020, juga telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 yang menguraikan tahapan awal untuk memberikan bantuan jaring pengaman sosial, kesehatan, pengusaha UMKM, dan dunia usaha lainnya,” kata Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Gita Wirjawan, dikutip dalam tulisannya, Senin (18/5/2020).

Ia menilai dua peraturan yang dikeluarkan itu merupakan gagasan yang luar biasa untuk dilakukannya pemulihan ekonomi nasional. Namun, tetap ada beberapa isu yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, bahwa penekanan terhadap penempatan dana dibanding penjaminan  di sistem perbankan lewat bank perantara,  mencerminkan asumsi bahwa permasalahan hanya semata dalam bentuk krisis likuiditas di perbankan.

“Yang perlu dipertimbangkan justru krisis kredit terkait para debitur yang sudah kesulitan karena tidak bisa beraktivitas dikarenakan kebijakan PSBB,” ujarnya.

Oleh karena itu, jumlah penjaminan dari pemerintah akan jauh lebih besar untuk kepentingan restrukturisasi sebagian besar dari pinjaman para debitur di perbankan nasional.

Keterbatasan Fiskal dan Moneter

IHSG Berakhir Bertahan di Zona Hijau
Petugas menata tumpukan uang kertas di ruang penyimpanan uang "cash center" BNI, Jakarta, Kamis (6/7). Tren negatif mata uang Garuda berbanding terbalik dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mulai bangkit ke zona hijau (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kedua, mengingat adanya keterbatasan ruang fiskal dan moneter untuk membuahkan bantuan dengan kecepatan yang tinggi dan jumlah yang besar, sangat diperlukan kesediaan dana atau likuiditas baru untuk penanganan kesiapan sarana kesehatan, jaring pengaman sosial, pemulihan daya beli (demand side), dan pemulihan sisi produksi (supply side).

Ketiga, mengingat situasi Covid-19 yang sudah menghambat seluruh sisi perekonomian, sangat diperlukan keterbukaan oleh pihak pemerintah untuk dilakukannya pendanaan dengan biaya yang lebih rendah daripada sebelumnya agar pemulihan ekonomi nasional secara terpadu juga akan turut dirasakan oleh sektor riil.

“Risiko beranjaknya kepincangan menuju kelumpuhan di sektor riil cukup nyata dan pola penanganannya dapat memengaruhi corak pertumbuhan ekonomi ke depan. Dalam waktu 6 bulan ke depan, likuiditas yang dibutuhkan untuk kepentingan jaring pengaman dan pemulihan daya beli terkait para pengusaha dan tenaga kerja UMKM bisa mencapai Rp1.000 triliun,” pungkasnya.   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya