Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Genjot 5 Sektor Prioritas Ini

Lima sektor yang perlu didorong untuk genjot pertumbuhan ekonomi antara lain Industri Pengolahan, Perdagangan, Pertanian, Pertambangan, dan Konstruksi.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 10 Sep 2020, 14:50 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2020, 14:50 WIB
Dorong Pertumbuhan Ekonomi Pelindo III Permudah Proses Ekspor Impor
(Foto:@Pelindo III)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus berupaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di tengah Pandemi Covid-19. Dari sisi sektoral, setidaknya ada 5 (lima) sektor yang perlu didorong, antara lain Industri Pengolahan, Perdagangan, Pertanian, Pertambangan, dan Konstruksi.

Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan hal tersebut saat memberikan Keynote Speech secara daring pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian, Perdagangan, dan Hubungan Internasional, Kamis (10/9/2020).

“Untuk sektor konstruksi, Pemerintah mempersiapkan pembangunan perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) karena ini melibatkan banyak kontraktor di daerah sehingga tentu bisa mendorong perekonomian di daerah,” ujar Airlangga.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, Outlook Ekonomi Indonesia di tahun 2020 pun diproyeksikan sebesar -1,1 persen s.d. 0,2 persen.

Sedangkan pada tahun 2021 diprediksi akan membaik dengan tumbuh di kisaran 4,5 persen s.d. 5 persen. ”Berbagai lembaga negara juga menilai bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun depan akan positif,” imbuhnya.

Dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), sejumlah indikator ekonomi mulai menunjukkan sinyal positif atas pemulihan aktivitas ekonomi, seperti Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang sudah mengalami ekspansi, Indeks Kepercayaan Konsumen, Penjualan Kendaraan Bermotor, Penjualan Ritel, Survei Kegiatan Dunia Usaha, dan Inflasi Inti.

Data per 7 September 2020 menyebutkan, dibandingkan dengan posisi 1 April 2020, kinerja Indeks Saham Sektoral mengalami penguatan di semua sektor kecuali sektor Properti. Sementara dari sisi Pasar Uang, Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar juga mengalami apresiasi sebesar 9,73 persen.

Ia juga menjelaskan, penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi membutuhkan rencana jangka menengah hingga tahun 2022-2023. Beberapa program utama yang akan disasar antara lain program yang berkaitan dengan kesehatan, bantuan sosial, padat karya untuk menjaga demand, restrukturisasi, dan transformasi ekonomi.

Di tahun 2021, biaya penanganan Covid-19 akan tetap berfokus pada kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pembiayaan korporasi, serta sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

“Pemerintah Pusat juga mendorong agar masing-masing Pemerintah Daerah menjalankan program, memacu perekonomiannya, serta melakukan belanja barang dan belanja modal. Dengan demikian, secara agregat kita bisa menjaga pertumbuhan,” pungkasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kalau Resesi Berkepanjangan Bisa Terjadi Depresi Ekonomi

Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta Turun 5,6 Persen Akibat Covid-19
Pandangan udara permukiman padat penduduk di Jakarta, Senin (27/7/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta mengalami penurunan sekitar 5,6 persen akibat wabah Covid-19. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyatakan dampak nyata resesi ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat. Terlebih dia menilai kondisi tersebut sudah mulai terasa ketika pertumbuhan ekonomi nasional terkontraksi hingga minus 5,32 persen pada kuartal II 2020.

"Kalau dampak paling besar atas potensi resesi. Yakni merosotnya daya beli, karena pendapatan masyarakat hilang atau terpangkas sehingga masyarakat tidak bisa konsumsi normal. Kan mulai ini terasa di kuartal II kemarin," ujar dia saat dihubungi Merdeka.com, Rabu (9/9/2020).

Menurutnya penurunan daya beli ini tercermin dari sejumlah indikator, khususnya Indeks Penjualan Riil (IPR) yang berada dalam tren negatif. Dimana pada Juni lalu, IPR mengalami minus 17,1 persen. Kendati membaik dari minus 20,6 persen pada Mei.

"Artinya selama kebijakan pelonggaran PSBB dilakukan, aktivitas ekonomi yang ada tidak seperti diharapkan oleh pemerintah. Imbasnya masyarakat secara umum daya belinya secara masih rendah," paparnya.

Kendati demikian, Eko tetap mengimbau masyarakat untuk tidak perlu khawatir akan potensi terjadinya resesi yang kian dekat. Mengingat dalam konteks resesi, akan banyak kebijakan untuk menstimulus perekonomian nasional ke arah positif.

"Masyarakat tidak perlu khawatir karena dalam konteks resesi itu ada peluang perbaikan ekonomi dari kebijakan yang ada. Baru kalau resesi kepanjangan kemudian masyarakat hati hati. Karena itu namanya depresi ekonomi," tegasnya.

Sehingga kebijakan pemerintah untuk percepatan proses pemulihan ekonomi akibat resesi ini sangat diperlukan. Terutama kebijakan terkait upaya penanganan pandemi Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia.

"Sebab, masyarakat pasti masih akan menahan konsumsi apabila pandemi ini masih bertambah. Karena mereka lebih melihat pada sisi ketidakpastian untuk melakukan investasi maupun berbagai aktivitas lainnya untuk menggerakkan roda perekonomian," imbuh dia.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya