Liputan6.com, Jakarta Anjloknya bisnis sektor penerbangan diproyeksikan ikut menurunkan pendapatan domestik bruto (PDB) dunia sebesar 0,02 persen hingga 1,98 persen. Dampak ini, 4,2 juta sampai 5 juta warga dunia kehilangan pekerjaan.
Sosiolog Universitas Indonesia Ricardi S Adnan memaparkan kondisi industri penerbangan sebelum pandemi menghadang.
Baca Juga
“Di tingkat global sebelum pandemi covid 19, industri penerbangan global mengalami tren yang positif. Volume arus penumpang secara global pada bulan Desember 2019 meningkat sebesar 4,9 persen yoy dibandingkan tahun 2018 berdasarkan perhitungan revenue passenger kilometres (RPK),” jelas dia, Rabu (23/9/2020).
Advertisement
Adapun passenger load factor (PLF) atau rasio antara jumlah penumpang dengan kapasitas maksimum, secara global pada bulan Desember 2019 meningkat sebesar 0,7 persen yoy ke 82,6 persen, terbesar sepanjang sejarah industri penerbangan.
Sementara, tren arus kargo mengalami kontraksi pada bulan Desember 2019 yakni sebesar 3,3 persen yoy memakai perhitungan Freight Tonne kilometres (FTK). Namun demikian secara kapasitas kargo mengalami peningkatan sebesar 2,8 persen yoy pada tahun 2019 apabila memakai perhitungan available tonne Kilometres.
Namun sejak covid-19 mulai muncul sejak awal tahun 2020 pergerakan RPK global menurun drastis hingga Maret 2020. Kemudian sejak April 2020 barulah mengalami tren peningkatan kembali namun lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2019.
“PLF di bulan Juni 2020 turun ke 57,6 persen terendah sepanjang sejarah. Lalu industri kargo menunjukkan tren naik sejak Mei 2020 walaupun masih dibawah angka pada tahun 2019 FTK pada bulan Mei 2020 turun sebesar 20,1 persen yoy dan 17,6 persen yoy pada bulan Juni 2020,” jelasnya.
Padahal menurutnya, secara langsung sektor penerbangan telah menyediakan lapangan pekerjaan, penerimaan pajak, dan investasi bagi perekonomian.
Namun di masa pandemi ini, beberapa aspek sektor penerbangan mengalami penurunan, sehingga banyak maskapai penerbangan global yang membutuhkan bantuan Pemerintah agar arus kas tetap terjaga, seperti penerbangan asal Jerman yakni Luthfansa, termasuk Garuda Indonesia.
Saksikan video di bawah ini:
Pemerintah Minta Hanya Buka 1 Bandara Internasional Selama Pandemi Corona
Pengamat Penerbangan dari Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim, mengatakan pada masa pandemi covid-19 adalah masa yang tepat untuk menerapkan single entry policy yaitu kebijakan membuka satu international airport saja di Indonesia.
“Seyogyanya untuk sementara waktu harus diberlakukan single entry policy dengan membuka satu saja international airport di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan kata terhadap lalu-lalang orang, barang, tanaman, dan terutama virus dan sekaligus membuka ruang gerak bisnis penerbangan lokal,” kata Chappy, Rabu (23/9/2020).
Sehingga untuk sektor penerbangan domestik kondisinya menjadi sangat bersahabat, dengan prospek pengembangan pasar penerbangan udara di dalam negeri. Menurut Chappy Indonesia yang sangat luas dan berpenduduk banyak ini pasti membutuhkan sarana transportasi yang cepat dan aman serta sehat.
Dengan menerapkan single entry policy ini akan menjadi peluang besar dalam upaya pengembangan pasar domestik penerbangan. Saat inilah waktu yang tepat untuk mengatur rute penerbangan dalam negeri agar menjadi lebih efisien.
“Sekaranglah saat yang tepat untuk membagi secara adil dengan sejumlah rute gemuk dalam negeri, menata ulang angkutan udara bagi keperluan dukungan administrasi dan logistic, pada tata kelola pemerintahan dengan langkah sinkronisasi terhadap jalur-jalur strategis transportasi darat, kereta api dan jejaring tol laut,” ujarnya.
Lanjutnya, saat ini tepat untuk mengelola ulang jalur-jalur penerbangan kargo dan charter flight dengan lebih professional, dan menata alur penerbangan dan fasilitas paket kunjungan wisata lokal.
Maka akan lebih mudah dikerjakan dalam upaya menciptakan alur penerbangan domestik secara keseluruhan, dengan kualitas yang jauh lebih efisien ke semua lapisan dalam penyelenggaraan dan memberikan peluang keuntungan yang relatif akan menjadi lebih merata sifatnya.
“Pertanyaannya mengapa harus dilakukan sekarang? tiada lain alasannya adalah bila kita tidak melakukannya sendiri sekarang ini maka pihak investor asing lah yang akan mengambil benefit dari momentum opportunity ini,” katanya.
Disisi lain kata Chappy, semua itu tidak terasa secara otomatis merubah pendekatan dalam mengelola pasar penerbangan dalam negeri dari Bottom up sifatnya, menjadi pendekatan rasional yang top down dan bertanggung jawab terutama dalam hal pemerataan keuntungan dan pemerataan peluang bisnis penerbangan secara nasional.
“Pendekatan bottom-up yang kini harus mengacu pada visi yang mengandalkan speed, power and accuracy, kecepatan bertindak, kekuatan mengatur, kecermatan dan ketepatan sasaran dalam manajemen secara keseluruhan strategi pemulihan bisnis sektor transportasi udara selama hingga pasca pandemi covid-19 haruslah senantiasa berpedoman pada pola-pola yang can do Oriented,” pungkasnya.
Advertisement