Bangkitkan Ekonomi, Perkebunan Sawit dan Masyarakat Harus Hidup Berdampingan

Perkebunan sawit dan masyarakat adat sama-sama saling membutuhkan dalam rangka kegiatan pembangunan ekonomi di daerah dan Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Sep 2020, 21:27 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2020, 17:35 WIB
Sawit
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan provinsi itu per tahun 2019, kabupaten dengan Hak Guna Usaha (HGU) kebun kelapa sawit terluas di Aceh, yakni 71,661.53 hektare. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Liputan6.com, Jakarta - Perkebunan sawit dan masyarakat adat sama-sama saling membutuhkan dalam rangka kegiatan pembangunan ekonomi di daerah dan Indonesia.

Di provinsi sentra kelapa sawit, banyak kelompok masyarakat adat yang hidup dari perkebunan sawit. Namun sayangnya, ada sekelompok LSM memanfaatkan masyarakat adat untuk menebarkan kebencian terhadap perkebunan sawit.

“Masyarakat adat dengan perkebunan kelapa sawit tidak perlu dipertentangkan karena perkebunan itu bertujuan mensejahterakan dan sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit juga dimiliki oleh masyarakat termasuk masyarakat adat. Ketika ada persoalan dengan masyarakat adat, terkadang perusahaan perkebunan di daerah tidak mendapatkan informasi dari pemerintah daerah bahwa lahan perkebunan tersebut telah ditetapkan sebagai hutan adat,” ujar Ketua Borneo Forum Totok Dewanto, Jumat (25/9/2020).

Totok menjelaskan banyak perusahaan sawit di wilayah Kalimantan belum mendapatkan informasi detil berkaitan peta hutan adat. Karena informasinya belum jelas terkait petanya hutan adatnya, maka belum bisa memberikan informasi secara mendetailnya.

Tentu yang diharapkan oleh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit adalah adanya jaminan kepastian berusaha dan perlindungan hukum berdasarkan regulasi. Tidak ada perusahaan yang ingin memperuncing persoalan dengan masyarakat termasuk masyarakat adat.

“Saat perusahaan sudah dapat izin dan melaksanakan kegiatan, tiba-tiba ada klaim dari masyarakat adat bahwa areal perusahaan menjadi wilayahnya. Hal ini membuat perusahaan tidak nyaman. Setelah investasi keluar lalu ada klaim. Dalam beberapa kasus, klaim dari masyarakat adat tidak disertai legalitas dari pemerintah yang berwenang menetapkan Masyarakat Hukum Adat,” ujar Totok.

Pengamat Kehutanan Sudarsono Soedomo sepakat apabila kelapa sawit dan masyarakat adat sebaiknya tidak perlu dipertentangkan karena masyarakat adat tidak ingin konflik dengan siapapun, termasuk dengan pengembang kebun sawit. Banyak pula masyarakat adat yang menjadi bagian dalam pengembangan kebun sawit.

“Persoalan hutan adat dan perkebunan terjadi akibat ketidakjelasan regulasi. Dalam hal ini, Kementerian LHK tidak boleh bekerja sendiri. Tapi libatkan semua pihak termasuk pemerintah daerah dan Kementerian ATR/BPN,” ujarnya.

Ia pun mengkritisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Dalam aturan ini dibuat lima skema perhutanan sosial yaitu Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, dan Kemitraan Kehutanan. Yang menjadi pertanyaan kenapa sawit dilarang dalam skema perhutanan sosial.

“Jadi, pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat dilarang menanam kelapa sawit di areal hak atau izinnya,” tegasnya.

Berkaitan dengan pembahasan RUU Masyarakat Adat, pemerintah sebaiknya melihat RUU ini lebih jeli karena berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat, karena mayoritas lahan yang diklaim sebagai wilayah adat juga masuk sebagai klaim kawasan hutan oleh KLHK.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Industri Sawit

20160308-Ilustrasi-Kelapa-Sawit-iStockphoto
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Sementara itu, Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono menyebutkan tantangan yang dihadapi industri sawit kian berat lantaran dihadang beragam isu seperti tenaga kerja, hak asasi manusia, dan masyarakat adat.

Untuk itu, pemerintah diharapkan membuat kepastian bagi investasi melalui implementasi regulasi. “Karena isu sosial terus digerakkan dengan isu masyarakat adat lalu klaim tanah. Klaim tanah sekarang nuansanya menjadi klaim masyarakat adat. Bahkan kebun yang usianya sudah mencapai ratusan tahun diklaim punya masyarakat adat,” jelasnya.

Pemerintah juga sebaiknya lebih jeli melihat persoalan ini karena banyak petani berasal dari masyarakat adat dan lokal setempat. “Petani sawit dari masyarakat setempat sebaiknya dilindungi juga. Sebagai contoh, petani yang diklaim ada di kawasan hutan menghadapi ketidakpastian,” ujarnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya