Liputan6.com, Jakarta - Pekerja milenial dikenal sebagai pekerja ‘kutu lompat’. Pasalnya, generasi ini disebut memiliki keingintahuan serta kemampuan beradaptasi yang tinggi. Namun di sisi lain, generasi ini juga memiliki kecenderungan mudah bosan. Hal-hal tersebut yang dinilai memicu generasi milenial menjadi ‘kutu loncat’.
Berkenaan dengan itu, Founder sekaligus Lead Artist NeverTooLavish (NTL), Bernhard Suryaningrat atau akrab disapa Abeng, mengatakan tak pernah memberi aturan formal kepada seniman yang tergabung dalam Nevertoolavish. Termasuk jam kerja yang dibebaskan. Hal ini, kata Abeng, memberi keleluasaan kepada seniman untuk mengeksplorasi karya mereka.
Namun, seiring dengan pesatnya minat konsumen, Abeng merasa perlu menekankan adanya kedisiplinan. Sehingga pesanan cepat selesai dan kuantitas bisa bertambah. Ini juga otomatis akan menambah pundi-pundi seniman di Nevertoolavish.
Advertisement
“NTL ini awalnya memang nggak pernah ngasih jam kerja. Mau kerja jam berapa aja bebas, yang penting selesaiin barang. Tapi ternyata ada beberapa faktor yang harus sedikit berubah. Karena seniman itu kalau mau dibebasin, terkadang mereka jadi liar,” kata dia dalam Inspiring Talkshow "from Indonesia To The World" Mandiri Karnaval 2020, Sabtu (3/10/2020).
“Jadi gue mengajarkan mereka untuk lebih disiplin waktu. Jadi gue coba terapkan jam kerja, emang awalnya agak sedikit ada perlawanan. Kayak mereka ada yang nggak bisa nih, segala macam, tapi akhirnya mereka tersadar bahwa ternyata waktu itu juga sangat penting. Dan mereka pun mendapatkan penghasilan lebih dari disiplin itu,” sambung Abeng.
Dalam kesempatan yang sama, Founder Brodo Footwear, Muhammad Yukka Harlanda membeberkan hal serupa. Dimana pada prinsipnya, ia mengadopsi strategi dari permainan basket.
Di mana ada offense dan defense. Atau dalam dunia usaha, kata Yukka, ada tim yang kebagian perluasan bisnis dan ada tim untuk mempertahankan bisnis secara internal.
“Kita nggak pernah pengalaman memimpin dan merekrut karyawan itu. Kita belajar dari kesalahan-kesalahan. Prinsip ekonomi kreatif industri kalau kita pakai prinsip basket. Paling tidak kita punya offense defense,” kata Yuka.
Lebih lanjut, Yukka menyebutkan strategi yang ia terapkan selama ini serupa permainan musik Jazz. Dimana semua personil bebas melakukan eksplorasi namun dengan visi yang sama. Brodo-pun demikian.
“Kita bukan main orkestra. Jadi kalau orkestra, kita serahkan pada konduktor nya, lalu semua ngikutin. Kalau Jazz nggak ada yang bener-bener nyuruh harus ngapain. Tapi kita punya prinsip punya visi bahwa, ini progresnya seperti ini, setelah itu silahkan. Bebas,” kata Yukka di acara Mandiri Karnaval 2020.
Di Mandiri Karnaval 2020, Pengusaha Milenial Berbagi Cerita Tetap Produktif di Masa Pandemi
Pandemi Covid-19 membawa dampak besar bukan hanya dari sisi kesehatan. Melainkan juga dari sisi ekonomi dan sosial. Dimana dalam keseharian masyarakat saat ini, terjadi tren penggunaan fasilitas berbasis digital sebagai opsi atas diberlakukannya pembatasan sosial.
Pemerintah juga terus menggalakkan digitalisasi terhadap pelaku usaha konvensional. Hal ini dimaksudkan agar kelangsungan usaha kedepannya bisa memenuhi tren pasar yang mengarah pada digital.
Menyambut hari jadi ke-22, Bank Mandiri menggelar acara Mandiri Karnaval 2020 yang digelar hari ini secara daring melalui Vidio. Dalam rangkaian acaranya, Mandiri menghadirkan Founder Brodo Footwear, Muhammad Yukka Harlanda.
Menghadapi situasi saat ini, Yuka mengaku ada sejumlah kegiatan yang terpaksa ditunda karena pandemi masih berlangsung. Namun disisi lain, ia mengakui adanya efisiensi dari pemanfaatan komunikasi berbasis daring. Misalnya, ia menyebutkan proses persetujuan produksi dari vendor menjadi lebih pendek dari biasanya.
“Kita sadar interaksi secara fisik itu ternyata sekarang nggak bisa. Karena kita produksi sepatu secara langsung, kita koordinasi sama vendor. Kita itu dulu, kalau mau approve sample itu panjang banget. Sekarang lewat foto dan video aja udah cukup,” kata Yukka dalam rangkaian acara Mandiri Karnaval 2020, Sabtu (3/10/2020).
Dalam kesempatan yang sama, hadir pula Founder sekaligus Lead Artist Nevertoolavish, Bernhard Suryaningrat atau akrab disapa Abeng. Tak jauh berbeda, Abeng juga mengalami hal serupa. Dimana biasanya konsumen datang ke studio untuk memeriksa bahan, kini bisa dijelaskan melalui daring dengan detail yang justru dirasa lebih rinci.
“Karena kan (biasanya) customer ada yang dateng lihat bahan juga, kalau mau bongkar-bongkar sepatu. Sekarang jadi pakai WhatsApp aja sih ngobrol, kita kirim (detailnya). Jadi lebih detail ini,” kata dia.
Kendati kegiatan usaha disebut tengah terpuruk, kedua pengusaha milenial memilih untuk melakukan penyesuaian strategi. Keduanya mengaku beruntung karena usaha yang mereka geluti saat ini bermula dari pemasaran digital. Sehingga dengan keadaan saat ini, mereka cukup bisa menyesuaikan.
“Harus bersyukur, karena emang kita starting-nya digital. Jadi pada saat seperti ini pun kita masih bisa mencari cari peluang itu,” kata Yuka.
Advertisement