Investor SBN Didominasi Perempuan, Sri Mulyani Ungkap Negara Utang ke Ibu-Ibu

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan investor perempuan yang membeli surat berharga di sektor ritel sebesar 56 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Jan 2021, 20:00 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2021, 20:00 WIB
Pemerintah dan DPR Bahas Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Menkeu Sri Mulyani saat rapat kerja gabungan bersama BPJS dan DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/2/2020). Rapat membahas kenaikan iuran BPJS Kesehatan, data peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan peran pemda dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa peran perempuan dalam roda perekonomian Indonesia sangat berarti. Menurutnya, jumlah investor perempuan dalam Surat Berharga Negara (SBN) lebih dari 50 persen.

"Mereka itu investor paling besar dalam surat utang negara. Jadi kalau saya mengatakan APBN kita turun penerimaan, sementara belanja naik, saya utang. Utang ke siapa? ke para ibu-ibu," ujar Sri, Senin (4/1/2020).

Ia memaparkan investor perempuan yang membeli surat berharga di sektor ritel sebesar 56 persen. Sedangkan untuk obligasi ritel sebesar 58 persen. Kendati demikian, di sektor bursa, persentase investor perempuan memang masih minim.

Berdasarkan paparan tersebut, Sri Mulyani berkesimpulan bahwa perempuan memiliki pengetahuan tentang mengelola keuangan secara tepat.

"Jadi perempuan itu mampu, dan mereka mengerti bagaimana menempatkan uang di tempat instrumen investasi yang baik meskipun untuk di bidang bursa masih lebih rendah namun dari sisi membeli surat berharga negara, mereka lah kreditor saya," ujarnya.

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

Sri Mulyani: Pembiayaan Utang Sebagian Besar dari dalam Negeri

Sri Mulyani Mencatat, Defisit APBN pada Januari 2019 Capai Rp 45,8 T
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KiTa Edisi Feb 2019 di Jakarta, Rabu (20/2). Realisasi defisit APBN pada Januari lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu mencapai Rp37,7 triliun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pembiayaan utang pemerintah sebagian besar bersumber dari pendapatan dalam negeri. Hal ini menepis adanya anggapan bahwa utang yang dibayarkan pemerintah bersumber dari dana luar.

"Seolah-olah dari luar negeri saja, sebetulnya tidak. Sebagian dari pembiayaan adalah besar dari dalam negeri," kata dia dalam acara Outlook Ekonomi Indonesia 2021, di Jakarta, Selasa (22/12/2020).

Seperti diketahui, pemerintah melakukan Burden Sharing bersama dengan Bank Indonesia sampai dengan 2022 mendatang untuk menutup defisit APBN 2020. BI bertindak sebagai pembeli siaga (stand by buyer) dalam lelang SBN melalui pasar perdana.

"Sitausi kita ini begitu luar biasa maka pembiayaan yang dilakuan tahun ini burden sharing luar biasa, itu adalah pengaturan kami, gubernur BI melalui surat kerja sama antara menteri keuangan dan BI," kata dia.

Selain melakukan burden sharing, pemerintah juga melakukan penerbitan surat utang. Di mana, surat utang ini bisa dibeli oleh seluruh masyarakat Indoesia dengan nilai terkecil mulai dari Rp1 juta.

"Ini yang beli masyarakat kita. Rp80 triliun ritel," imbuh dia.

Seperti diketahui, hingga akhir Oktober 2020, posisi utang pemerintah berada dikisaran Rp5.877,71 triliun, naik Rp120,84 triliun dari Rp 5.756,87 triliun pada posisi September 2020. Angka ini juga naik Rp1.121,58 triliun dari Oktober 2019 sebesar Rp4.756,13 triliun.

Dikutip dari Buku APBN Kita edisi November, utang pemerintah ini masih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 85,56 persen dan pinjaman sebesar 14,44 persen.

Secara rinci, utang dari SBN tercatat Rp5.028,86 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp3.782,69 triliun dan valas Rp1.246,16 triliun.

Sedangkan utang melalui pinjaman tercatat Rp848,85 triliun. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp11,08 triliun dan pinjaman luar negeri Rp837,77 triliun.

Adapun utang dari pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman bilateral Rp315,25 triliun, pinjaman multilateral Rp837,77 triliun dan pinjaman dari commercial banks Rp43,43 triliun.

Posisi utang yang naik ini juga diikuti dengan pelebaran rasio utang menjadi 37,84 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga akhir Oktober lalu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya