Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani mewaspadai adanya pengaruh lonjakan kasus Covid-19 terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal II.
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi kuartal II ditargetkan berada di kisaran 7,1 persen hingga 8,3 persen. Sri Mulyani meyakini angka ini dapat tercapai karena beberapa faktor.
"Kita harap di kuartal II ini bisa di terjaga (target 7,1 hingga 8,3 persen) karena memang, komponen di kuartal II masih kuat terutama di bulan April dan Mei, baik karena koreksi dari tahun lalu yang base-nya rendah maupun seasonality lebaran, sehingga dukungannya cukup kuat," ujar Menkeu dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (14/6/2021).
Advertisement
Kendati, kenaikan kasus Covid-19 di bulan Juni dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di kuartal II secara keseluruhan. Jika penanganan Covid-19 diketatkan, kemungkinan aktivitas masyarakat dan aktivitas ekonomi akan menurun dan pertumbuhan ekonomi dapat mengalami koreksi.
Menurut Sri Mulyani, aktivitas konsumsi masyarakat yang terus meningkat memberi dampak positif di kuartal II dan berlanjut di kuartal II. Namun, aktivitas pasca lebaran yang melonjak harus diwaspadai.
"Ada koreksi dari sisi indeks frekuensi belanja dan indeks nilai belanja. Dari lebaran memberikan kontribusi, post lebaran mulai agak turun, dan kalau ada kenaikan Covid-19, ini dikhawatirkan kurvanya akan sedikit terkoreksi," katanya.
Oleh karenanya, pihaknya akan terus berhati-hati dalam menerapkan kebijakan agar kenaikan kasus Covid-19 tidak berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi di kuartal II.
"Kuartal II kita harap akan terjadi pemulihan yang kuat, namun Covid-19 yang terjadi pada Juni pasti akan mempengaruhi proyeksi pertumbuhan ekonomi ini. Jadi kita memang harus hati-hati terutama di proyeksi upper bound, yang sebesar 8,3 persen," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tanggapan DPR
Anggota Komisi XI DPR RI, Achmad Hafisz Tohir mengaku pesimis Indonesia bisa mengejar angka pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen di kuartal II-2021. Apalagi pandemi Covid-19 belum berakhir dan munculnya varian baru virus tersebut. Ekonomi RI menurutnya hanya bisa mencapai 4,5 persen.
Dia mengatakan, angka 4,5 persen itu baru bisa dicapai bila serapan penerimaan negara berjalan 100 persen. Belum lagi pertumbuhan masih terganjal di tiga sektor, yaitu produktivitas, birokrasi, dan regulasi.
"Sulit bagi pemerintah menembus target pertumbuhan 7 persen dengan hanya business us ussual," katanya di Jakarta, Senin (7/6).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi perlu didukung investasi dan ekspor yang kuat. Namun faktanya, pada dua sektor itu, kontribusinya untuk pertumbuhan hanya 5 persen. Menurut politisi politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut, perlu perbaikan di dua sektor itu. Setidaknya, bila ingin mengejar pertumbuhan 7 persen, maka ekspor dan investasi harus tumbuh di atas 5-7,5 persen.
Hal yang terus mengganjal perekonomian nasional, lanjut Hafisz, program vaksinasi yang lambat. Target 180 juta vaksin masih jauh dari harapan. Negara-negara lain di dunia, vaksinasinya bergerak cepat. Amerika Serikat, misalnya, sudah mencapai 2 juta vaksin per hari.
"Ini menjadi tantangan yang sulit bagi kita untuk kembali menuju normalisasi ekonomi dan kehidupan," jelas Wakil Ketua BKSAP DPR ini.
Selain itu, kebijakan moneter Amerika Serikat juga masih memengaruhi pasar global. Inflasi yang terjadi di negeri Paman Sam itu menimbulkan tekanan pada kebijakan moneter global termasuk Indonesia.
"Untuk itu, kita harus bersiap jika bank sentral AS (The Fed) melakukan perubahan kebijakan moneter dengan mengurangi intervensi likuiditas, melakukan pengetatan, dan kenaikan suku bunga," tandasnya. Hal ini salah satu sentimen yang menentukan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
Advertisement