Liputan6.com, Jakarta Penggunaan BBM berkualitas dengan RON tinggi disebut berkontribusi terhadap kualitas udara. Jika kualitas BBM bagus, berarti kandungan sulfur semakin kecil sehingga ketika masyarakat menggunakan BBM berkualitas, tentu akan mengurangi polusi udara.
Padahal di sisi lain, polusi udara dapat memunculkan penyakit kronis, yang merupakan kormobit Covid-19, seperti penyakit jantung, diabetes, dan gangguan pada paru-paru.
Baca Juga
Ini diungkapkan Guru besar kesehatan lingkungan Universitas Indonesia (UI) Profesor Budi Haryanto seperti melansir Antara, Selasa (30/6/2021).
Advertisement
"Kalau kualitas bahan bakar bagus, maka kualitas udara pencemaran berkurang, artinya, semakin banyak kendaraan memakai BBM berkualitas, otomatis emisi yg keluar di udara juga semakin berkurang," ujar dia.
Oleh karena itu, Budi menyambut positif tren peningkatan konsumsi Pertamax series akhir-akhir ini, yang mana kondisi tersebut harus dipertahankan dan terus ditingkatkan.
Bahkan, tambahnya, lebih baik lagi kalau penyediaan BBM dengan RON rendah dikurangi atau bahkan dihentikan, karena akan berdampak buruk terhadap kualitas udara.
Menurut dia, dampak polusi terhadap penyakit kronis membutuhkan waktu lama dan terus-menerus. Tidak serta-merta muncul kormobit, seperti jantung, diabetes, dan gangguan paru-paru.
"Itu sebabnya, tren peningkatan konsumsi Pertamax series harus dipertahankan dan selalu ditingkatkan. Ini untuk jangka panjang,” katanya.
Saksikan Video Ini
Hubungan Antara Polusi Udara dan Kematian
Budi Haryanto mengatakan, udara yang bersih dan berkualitas memang penting, apalagi berbagai penelitian menunjukkan, terdapat hubungan antara polusi udara dan tingkat kematian penderita Covid-19.
Penelitian di Harvard, misalnya, mengungkapkan bahwa pasien Covid-19 di wilayah tinggi polusi memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan di wilayah rendah polusi.
Dari penelitian diketahui, lanjutnya, bahwa mereka yang tinggal di wilayah polusi udara tinggi mempunyai risiko 4,5 kali lipat lebih tinggi meninggal akibat Covid-19 dibandingkan yang tinggal di wilayah polusi udara rendah.
"Secara teori, ini dikaitkan bahwa banyak kormobit yang diderita orang-orang di daerah tinggi polusi, akibat pencemaran udara tadi," jelas Budi.
Penelitian serupa juga dilakukan di Eropa. Antara lain Italia, Prancis, Spanyol, dan Jerman. Dalam hal ini, European Public Health Alliance menyatakan bahwa polusi udara mengurangi peluang seseorang bertahan hidup dari wabah Covid-19.
Karena itulah, World Health Organization (WHO) mengimbau agar setiap negara memperhatikan faktor risiko polusi udara dan kaitannya terhadap pengendalian COVID-19.
“WHO menyebutkan, negara dengan tingkat polusi udara tinggi seperti Indonesia harus mempertimbangkan faktor risiko polusi udara tersebut dalam persiapan pengendalian Covid-19," katanya.
Advertisement