Liputan6.com, Jakarta - Tok!. Babak baru penerapan pajak dimulai. Rapat paripurna DPR RI pada Kamis 7 Oktober 2021, yang menyetujui RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) disahkan menjadi undang-undang (UU) menjadi pembuka.
UU HPP memiiki enam kelompok pengaturan, yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), pajak karbon, serta cukai.
Baca Juga
Dari kelompok tersebut, satu hal yang menjadi sorotan adalah soal fungsi nomor induk kependudukan (NIK) yang akan diintegrasikan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Aturan ini masuk dalam kelompok pengaturan dalam UU HPP.
Advertisement
Sekadar informasi, NPWP merupakan nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak (WP) sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dan digunakan sebagai tanda pengenal atau identitas diri wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Pada dasarnya, setiap warga negara Indonesia yang telah bekerja atau memiliki penghasilan wajib memiliki NPWP, baik itu perorangan maupun perusahaan atau investor.
Penambahan fungsi NIK menjadi pengganti NPWP menuai perhatian karena memunculkan kekhawatiran jika dengan aturan ini, artinya penduduk yang memiliki NIK dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) otomatis wajib membayar pajak, meskipun belum bekerja atau memiliki usaha sendiri.
Namun kekhawatiran ini langsung ditepis Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dia tak mau polemik terus menggelinding liar.
Dia menilai banyak masyarakat yang salah paham dan berasumsi dengan rencana NIK jadi NPWP ini. Ditegaskan jika tujuan dari penambahan fungsi NIK menjadi pengganti NPWP ini agar pembayaran pajak untuk wajib pajak orang pribadi bisa lebih terpantau secara administratif.
"UU PPh itu untuk wajib pajak orang pribadi, dan sering dipelintir bahwa setiap punya NIK langsung bayar pajak. Saya ingin tegaskan dengan UU HPP," ujar Sri Mulyani.
Dia pun membuktikan dengan memberi contoh jika dalam UU HPP menyebutkan jika setiap orang pribadi berpenghasilan Rp 4,5 juta per bulan, atau 54 juta orang pribadi belum menikah alias single per tahun, dipastikan tidak kena pungutan pajak atau disebut Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
"Jadi kalau masyarakat miliki NIK jadi NPWP dan miliki pendapatan Rp 4,5 juta per bulan atau 54 juta per tahun, dia PPh 0 persen," terang Sri Mulyani.
"Ini untuk meluruskan, seolah-olah ada mahasiswa yang baru lulus, belum bekerja suruh bayar pajak, itu tidak benar," tambahnya.
Dia juga memastikan kategori kelompok masyarakat yang PTKP tidak diubah, yakni tetap Rp 54 juta per tahun, plus Rp 4,5 juta untuk pasangan dengan tanggungan 3 orang anak.
"Tambahan sebesar Rp 4,5 juta diberikan untuk wajib pajak yang kawin dan masih ditambah Rp 4,5 juta untuk setiap tanggungan maksimal 3 orang," terangnya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menguatkan pernyataan Sri Mulyani. Dia meluruskan kesalahan persepsi di mana NIK sebagai pengganti NPWP bukan berarti masyarakat usia 17 tahun ke atas yang memiliki KTP sudah harus membayar pajak.
"Penggunaan NIK tidak berarti semua WNI wajib membayar PPh, tapi tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak, yaitu apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP (penghasilan tidak kena pajak), atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp 500 juta setahun," jelasnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tujuan dan Target
Jika pemerintah telah memastikan jika tidak semua pemilik NIK untuk membayar pajak, lantas apa tujuan dari integrasi NIK dan NPWP ini?
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan, penambahan NPWP ke dalam KTP ini merupakan usulan dari DPR untuk mempermudah pemantauan wajib pajak.
"Ada terobosan yang jadi usulan DPR, yaitu mengintegrasikan basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan. Dengan menggunakan NIK sebagai NPWP wajib pajak orang pribadi," terangnya.
Pernyataan itu turut ditimpali Wakil Ketua Komisi IX DPR, Dolfie OFP. "Dengan terintegrasinya penggunaan NIK akan mempermudah memantau administrasi wajib pajak Indonesia, khususnya wajib pajak orang pribadi," ungkapnya.
Kemudahan ini bisa terwujud karena masyarakat yang memiliki KTP pasti akan terdaftar sebagai wajib pajak orang pribadi.
Regulasi ini bakal memudahkan kerja Direktorat Jenderal Pajak dalam memungut penerimaan negara. Sebab, tidak semua yang punya KTP mau mendaftarkan diri secara sukarela sebagai wajib pajak. "Program ini akan mempermudah aktivitas pendataan masyarakat sebagai wajib pajak," ujar Dolfie.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Amir Uskara berpandangan bila NIK terintegrasi dengan NPWP justru mempermudah proses pendaftaran wajib pajak dan pelaporan. Pihak yang diuntungkan adalah wajib pajak sendiri terutama perorangan.
"Tidak perlu buat NPWP nantinya ke kantor pajak, lapor SPT juga cuma masukkan NIK. Jauh lebih mudah dan hemat waktu. Bagi pemerintah integrasi data penduduk dengan wajib pajak diharapkan memperbaiki kepatuhan pajak dan juga proses pengawasan," tegas dia.
Nantinya setiap WNI yang memiliki NIK, secara otomatis akan masuk ke database pajak. Namun bukan berarti mereka langsung masuk kategori yang harus membayar pajak.
"Selama tidak berpenghasilan, tidak perlu bayar pajak penghasilan. Sama saja seperti fungsi NPWP sekarang. Bagi otoritas pajak kemudahan data ini akan dijadikan dasar untuk lakukan verifikasi lebih cepat," ujar dia.
Namun dia mengakui jika penerapan kebijakan ini harus disiapkan terlebih dahulu infrastrukturnya. Dan itu akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Kesiapan Infrastruktur
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan sedang mempersiapkan implementasi penggunaan NIK sebagai NPWP.
“Saat ini DJP terus berkoordinasi dengan Ditjen Dukcapil Kemendagri untuk kesiapan implementasi dari ketentuan ino,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Neilmaldrin Noor, kepada Liputan6.com.
Wajib Pajak Orang Pribadi wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk mendapatkan NPWP.
Dengan ketentuan baru ini, maka Wajib Pajak Orang Pribadi tidak perlu repot melakukan pendaftaran ke KPP karena NIK tersebut berfungsi sebagai NPWP.
Advertisement
Tinggal Eksekusi
Ternyata Penambahan fungsi NIK menjadi pengganti NPWP memang sudah dipikirkan matang pemerintah.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Dukcapil Kemendagri), Zudan Arif Fakrulloh mengaku pihaknya sudah lama bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak melakukan rencana tersebut. Saat ini, Kemendagri sudah siap mengintegrasikan NIK menjadi NPWP.
"Ditjen Pajak sudah akses NIK data kita sudah lama. Kalau kami sudah siap NIK dipakai, kan penduduk kita 272 juta sudah punya NIK semua, tinggal dieksekusi oleh direktorat jendral pajak," kata Zudan kepada Liputan6.com, Senin (11/10/2021).
Payung hukum kebijakan ini, diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2013. Pasal 64 UU Adminduk menyebutkan untuk menyelenggarakan semua pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melakukan integrasi nomor identitas yang telah ada dan digunakan untuk pelayanan publik paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini disahkan.
"Kalau di sini menggunakan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sekarang sedang diproses pengundangannya. Yang diperoses terkait penyatuan NIK sebagai NPWP. Kalau proses integrasi sudah diatur di Passl 64 UU 24 Tahun 2013," ujar dia.
Saat ini, kata dia, mekanisme kebijakan tersebut tengah menunggu Kementerian Keuangan untuk mengeksekusinya. Sementara Kemendagri sudah siap segala sesuatunya.
"Ini Kementerian Keuangan yang sedang mengesekusi. Kita sudah mempersiapkan untuk menerapkan itu. Karena secara prosedural, enggak ada yang berubah hanya NPWP menjadi NIK," jelas dia.
Selain itu, Dia juga menegaskan, tidak semua NIK yang terintegrasi dengan NPWP akan diwajibkan membayar pajak. Karena ada syarat dan ketentuan seseorang dinyatakan wajib membayar pajak.
"NIK diberikan sejak lahir. Jadi semua penduduk Indonesia bisa langsung menjadi wajib pajak, tetapi tidak semua membayar pajak. Ada ketentuannya kalau penghasilan di bawah ketentuan, tidak kena pajak," ujar dia.
Basis Integrasi Data
Zudan sebelumnya menjelaskan, Ditjen Pajak sepakat NPWP akan dihilangkan. Sehingga NPWP akan terintegrasi dan digantikan dengan NIK.
“Ke depan, optimalisasi NIK akan semakin intensif di mana Ditjen Pajak sudah sepakat dengan Kemendagri bahwa nantinya NPWP akan dihapus untuk sepenuhnya diganti dengan NIK,” kata Zudan dalam keterangan pers, Rabu 6 Oktober 2021.
Optimalisasi NIK sebagai basis integrasi data juga telah merambah cakupan sektor-sektor lainnya. Terdiri dari provider jaringan layanan telekomunikasi, asuransi, perbankan, pertanahan, kesehatan, penegakan hukum dan pencegahan kriminal, hingga pembangunan demokrasi.
“Data DPO juga sudah terintegrasi dengan data kependudukan Dukcapil karena Polri rutin menggunakan hak akses data kependudukan melalui face recognition dan pencocokan biometrik untuk menangkap berbagai pelaku kejahatan seperti terorisme,” ungkap dia.
Sebelumnya diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken peraturan tentang Pencantuman dan Pemanfaatan NIK dan NPWP dalam pelayanan publik. Aturan tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 83 Tahun 2021 berisi 13 pasal dan ditekan Presiden Jokowi pada 9 September lalu.
Direktur Eksekutif Pratama - Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, implementasi pengintegrasian NIK ke NPWP tengah menunggu Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Itu tertera dalam Pasal 2 ayat 10 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Khususnya dalam pencetakan kartu NPWP baru di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), yang kelak akan terintegrasi dengan nomor induk kependudukan yang tertulis di KTP.
"Kalau yang belum punya NPWP, misal tadi pelajar, setelah bekerja kemudian daftar NPWP, berarti pakai KTP. Di situ tertera NPWP. Nomor yang di situ berarti nomor yang sama dengan nomor yang di KTP," jelas Prianto kepada Liputan6.com.
NIK yang terintegrasi dengan NPWP akan mempermudah wajib pajak orang pribadi yang selama ini memegang dua nomor dalam dua kartu yang berbeda.
"Nantinya nomor yang dipakai di NPWP diambil dari NIK, sehingga kartu yang dipakai cukup satu. Artinya ketika buka NIK di situ ada data KTP dan NPWP. Sederhananya cuman digabung nomornya," tuturnya.
dipastikan tidak setiap orang yang sudah memiliki KTP nantinya bakal jadi wajib pajak juga. Sebagai contoh, mahasiswa yang berumur 17 tahun dan wajib memiliki KTP, tapi belum kerja dan memiliki penghasilan.
"Hal itu tidak berlaku untuk mahasiswa, karena belum berlaku sebagai objek wajib pajak orang pribadi. Tapi ketika nanti sudah bekerja, punya penghasilan, daftar NPWP, berarti sudah terdaftar sebagai wajib pajak, berarti nomor yang dikasih nomor yang ada di NIK," tuturnya.
Bagi masyarakat yang ingin mengecek NPWP dengan menggunakan NIK, DJP pun telah menyiapkan laman khusus yaitu di https://ereg.pajak.go.id/ceknpwp.
Jaminan Keamanan Data
Salah satu masalah yang menjadi sorotan dari implementasi NIK terintergrasi dengan NPWP adalah soal keamanan data. Sebab, bukan tidak mungkin terjadi kebocoran data masyarakat yang selama ini telah tersimpan dalam e-KTP.
Pakar Keamanan Siber Alfons Tanujaya menilai penggunaan NIK secara teknis memang mempermudah wajib pajak menjalankan kewajibannya.
Namun hal ini harus diikuti dengan pengamanan data yang baik dan memperhatikan hak masyarakat atas kerahasiaan data pribadinya.
"Jangan hanya menggunakan NIK dan nama lengkap untuk mengakses data penting, seperti sertifikat vaksin dan informasi rahasia lainnya. Sebab, data NIK dan nama lengkap sudah banyak yang bocor, sehingga data yang harusnya dilindungi menjadi mudah diakses siapa pun," tutur dia saat dihubungi Tekno Liputan6.com.
Dirjen Pajak harus sangat serius memperhatikan hal ini. Jangan sampai ada akses tidak bertanggung jawab pada informasi wajib pajak, mengingat hal itu merupakan pelanggaran hak pemilik data, karena seharusnya bersifat kredensial.
"Kalau pengamanan datanya kurang baik seperti informasi sertifikat vaksin yang bisa diakses hanya dengan memasukkan NIK dan nama lengkap. Maka bahaya sekali jika orang bisa mengakses informasi pajak hanya menggunakan NIK dan nama lengkap," tambah dia.
Alfons pun menyarankan untuk mulai digunakan identitas digital nasional apabila memang dimungkinkan. Penggunaan identitas digital ini lebih tepat digunakan di zaman digital karena bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan pengamanan terkini.
Selain itu, kredensialnya pun bisa diganti apabila bocor dan bisa disematkan perlindungan tambahan seperti TFA (Two Factor Authentication) atau OTP (One Time Password). Hal ini berfungsi apabila ada informasi kredensial bocor, informasi penting yang dilindungi identitas digital tetap aman terlindungi TFA atau OTP.
"Jadi identitas digital ini merupakan satu kredensial unik berupa username maupun password yang dikelola pemerintah dan berfungsi menggantikan NIK. Dengan kata lain, Digital ID ini sebagai pengganti NIK yang memang rentang dieksploitasi," ujarnya menutup pembicaraan.
Guna meredam kekhawatiran tersebut, pemerintah sebelumnya telah menjamin kerahasiaan data melalu UU HPP yang baru disahkan.
Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Suryo Utomo mengatakan pada pasal 34 UU HPP data yang disampaikan wajib pajak tidak bisa disebarluaskan atau diberikan kepada pihak lain. "Hukumnya jelas di situ dan secara konteks prinsip terus akan kita jagain," kata Suryo.
Namun untuk kepentingan administrasi, penggunaan NPWP yang akan beralih pada NIK membutuhkan transisi. Sehingga akan dilakukan sinkronisasi antara NPWP dengan NIK antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.
"Pasti akan dilakukan penyamaan NPWP dan NIK. Bagi pemilik yang sama kan terus kami lakukan dengan kementerian yang terkait yang mengurusi masalah kependudukan ini," kata dia.
Pemilihan NIK sebagai nomor wajib pajak dinilai lebih umum daripada penggunaan NPWP. Sebab tidak semua orang mengajukan diri membuat NPWP, sementara NIK pasti dimiliki oleh setiap orang yang sudah berusia 18 tahun.
"NIK ini lebih common daripada NPWP, seluruh penduduk yang usianya lebih diatas 18 tahun pasti memiliki KTP dan di dalam KTP tertera NIK. Sementara NPWP belum seluruh penduduk Indonesia memilikinya," tuturnya.
Memperkuat, Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie OFP mengatakan soal kemanan data, masyarakat tidak perlu menghawatirkannya. Hal itu sedang disusun Pemerintah dan DPR dalam bentuk UU.
"Secara teknologi dapat diantisipasi dengan mengikuti perkembangan kemajuan teknologi," kata Dolfie.
Integrasi data akan dilakukan secara cermat dan didukung dengan sarana dan prasarana teknologi yang baik; kerahasiaan data dan informasi NIK menjadi atensi yang utama.
Advertisement
Tambah Pendapatan Negara
Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie OFP mengakui jika integrasi basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan bertujuan mempermudah Wajib Pajak (WP) orang pribadi melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan demi kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional.
"NIK juga saat ini digunakan untuk integrasi berbagai data: PBI, DTKS, dan data-data lain yang terus di integrasikan," kata Dolfie.
Selain itu, dengan kemudahan yang ada diharapkan bisa meningkatkan penerimaan negara melalui WP orang pribadi. Karakteristik WP OP dapat diketahui karena di dalam NIK sudah ada data terkait DTKS, PBI, data penerima bansos, dan lain-lain. "Akan efektif dalam memperluas basis data WP OP," terangnya.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, MH Said Abdullah mengatakan saat ini sumber data berasal dari berbagai Kementerian/Lembaga dan Pemda. Kebijakan satu data bisa untuk menghindarkan data beragam, yang menjadi dasar pengambilan kebijakan.
"Kita ke depan juga akan mengarah ke implementasi Single Identity Number (SIN), khususnya data kependudukan. Sebab selama ini kita punya data yang beragam, selain NIK di KTP dan KK, juga ada nomor identitas di SIM, lalu juga ada NPWP pada pajak," kata Said.
Penggunaan NIK sebagai data perpajakan juga akan memudahkan pemerintah untuk menyempurnakan data Wajib Pajak (WP) yang jumlahnya jauh lebih rendah dari data penduduk yang telah berumur diatas 17 tahun.
"Saya kita ini terobosan yang baik, dan perlu kita dukung rencana ini. Sebab dengan data WP yang baik, rencana DPR dan pemerintah untuk meningkatkan kinerja perpajakan akan lebih mudah, sebab sejak tahun 2011 kita selalu mengalami short fall perpajakan, dan tax ratio kita hanya berkutat di kisaran 10-11 persen PDB," papar Said.
Direktur Eksekutif Pratama - Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak atau UU HPP akan mempermudah realisasi penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Terutama dengan adanya kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang akan terintegrasi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Dalam hal ini, Prianto menganggap NPWP yang tertera di KTP kelak akan mempermudah kantor pelayanan pajak (KPP) dalam melakukan pendataan wajib pajak orang pribadi.
"Yang jelas data matching-nya lebih gampang. Kan kalau kita melihat latar belakang RUU KUP sebelumnya, itu kan kantor pajak tanda kutip ngeluh ada di naskah akademik," jelasnya.
"Kami ini mau cocokin data susah, karena NPWP-nya enggak ada, kalau enggak NIK-nya enggak ada. Kemudian alamatnya ada di luar negeri," keluh Prianto.
Prianto mengatakan, UU HPP yang akan mengintegrasikan antara NIK dan NPWP kelak akan mempermudah kerja setiap KPP, utamanya dalam melakukan pendataan wajib pajak.
"Sekarang semua informasi sudah terpusat di NIK, itu gampang data matching-nya. Mengambil data dari data laporan pajak dengan data berbagai sumber kan semuanya sudah pakai NIK," ungkapnya.
Sehingga, dia menambahkan, penerimaan negara dari sektor pajak otomatis akan ikut terdongkrak berkat kemudahan yang ditawarkan UU HPP.
"Ujungnya nanti pengawasannya lebih efektif, kemudian kalaupun ada masalah cepat segera ditangani. Sehingga diharapkan penerimaan negara meningkat karena kontrolnya lebih cepat terdeteksi," tutur dia.
Bisa Munculkan Polemik
Namun, Pengamat Kebijakan Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, aturan NIK menjadi NPWP akan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Hitung-hitungan wajib pajak yang ditetapkan pemerintah, dinilainya sebagai angka-angka yang berdasarkan ekonomi semata.
"Masyarakat bawah yang penghasilannya di bawah Rp 60 juta nggak kena pajak, itu kan logika orang ekonomi. Yang besar-besar dikasih amnesty pajak atau sunset policy untuk apa. Akhirnya ya tetap saja kondisinya nggak jauh berbeda," ujar dia.
Dia menengarai pengampunan yang diberikan pemerintah terhadap pengemplang pajak tidak memberikan dampak siginifikan. Karena itu, sasaran pajak pun diperluas melalui penerapan NIK menjadi NPWP.
"Pengampunan pajak itu juga realisasinya kan nggak jalan. Itu kan ada sunset policy, itu kan rekomendasi itu toh. Itu menguntungkan kalangan menengah atas. Karena dia tetep dapat tenor," jelas Trubus.