Pandangan Menteri ESDM Seputar Transisi Energi Berbasis Kebutuhan Negara

Pada acara Asia Clean Energy Summit (ACES) 2021 di Singapura, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan pandangannya terkait transisi energi berbasis kebutuhan negara. 

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 30 Okt 2021, 22:57 WIB
Diterbitkan 30 Okt 2021, 22:57 WIB
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengapresiasi kemenangan PLN dalam Coal Awards 2021.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengapresiasi kemenangan PLN dalam Coal Awards 2021.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan bahwa kebijakan transisi energi yang tepat akan memudahkan untuk menekan laju perubahan iklim di kawasan regional seperti Asia Tenggara. Maka dari itu, menurutnya, setiap negara harus mempertimbangkan kemampuan berdasarkan potensi energi, kematangan teknologi, kelayakan ekonomi, peluang investasi, dan penciptaan lapangan kerja seperti green jobs.

"Proses transisi energi menuju energi bersih harus direncanakan berdasarkan kebutuhan negara masing-masing. Apalagi kita memiliki kepentingan dan tujuan bersama untuk memerangi perubahan iklim, kita perlu membuat perubahan penting terkait kebijakan keamanan ekonomi dan energi di kawasan seperti ASEAN," kata Arifin saat memberikan pandangan pada acara Asia Clean Energy Summit (ACES) 2021 di Singapura, Selasa (26/10).

Arifin mengungkapkan, pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai jalan keluar mengimplementasikan transisi energi harus tetap mempertimbangkan kondisi perekonomian domestik, daya saing pasar, hingga kemampuan industri.

"Kita harus memaksimalkan potensi lokal kita sendiri untuk memastikan pengembangan EBT selaras dengan kondisi ekonomi dan tantangan masa depan," jelasnya.

Sebagai kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, sambung Arifin, permintaan listrik di ASEAN naik 6 persen setiap tahun dalam 20 tahun terakhir berdasarkan laporan Electricity Market dari International Energy Agency (IEA) pada bulan Desember 2020.

"Kebutuhan energi (ASEAN) akan meningkat selaras dengan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari membaiknya efek pandemi," ungkapnya.

 

Cara Percepat Transisi Energi dan Netralitas Karbon

ASEAN sendiri memiliki target regional mencapai 23% bauran EBT dalam Total Primary Energy Supply (TPES) di tahun 2025 dimana sejak tahun 2019 kapasitas pembangkit listrik terpasang yang baru sebagian besar berasal dari air dan Solar PV. Kendati begitu, Arifin menyoroti pemanfaatan energi fosil yang masih menjadi penopang sumber energi.

"Kawasan ASEAN dalam beberapa hal masih bergantung pada batu bara sebagai sumber energi yang menyumbang 31,4% dari kapasitas daya terpasang pada tahun 2020. Situasi ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati ketika menetapkan jalan kita menuju netralitas karbon," Arifin menambahkan.

Guna mempercepat proses transisi energi dan netralitas karbon di tahun 2060, Arifin menyampaikan kebijakan energi yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia. Diantaranya, pengembangan EBT secara masif (termasuk Solar PV, Angin, Biomassa, Panas Bumi, hingga Sistem Penyimpanan Energi Baterai (BESS), pembangunan interkoneksi transmisi dan smart grid, pengembangan kendaraan listrik, serta mengurangi pemanfaatan sumber daya energi fosil.

"Prinsip Availability, Accessibility, Affordability, Acceptability, Sustainability & Competitiveness harus diperhatikan dalam (menjalankan) proses transisi energi. Energi Surya bisa memenuhi prinsip-prinsip tersebut meski isu intermittent jadi tantangan tersendiri. Apalagi berdasarkan data IRENA, biaya pembangkitan listrik dari PLTS mengalami penurunan sebesar 82% selama 2010-2019," Arifin menguraikan.

 

Optimalkan Program Energy Transition Mechanism

Sebagai bagian dari pengembangan energi bersih, Pemerintah Indonesia juga mendukung program Energy Transition Mechanism (ETM). Program ini dijalankan sebagai mekanisme untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan melalui pemberhentian operasional PLTU Batubara secara awal (pensiun dini).

"ETM sebagai inisiatif dari Asian Development Bank (ADB) dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Bank Dunia, Amerika Serikat dan Inggris. Studi Kelayakan saat ini sedang dilakukan di Filipina, Vietnam dan Indonesia," ungkap Arifin.

Dalam proyek percontohan itu, masing-masing negara akan mendirikan fasilitas ETM dan mempercepat pembelian PLTU guna mempercepat masa pensiun pembangkit. ETM sendiri memiliki potensi besar sebagai mekanisme keuangan untuk program pengurangan karbon.

"Akan ada calon investor (ETM) dari bank multilateral, institusi sektor swasta domestik dan internasional, serta investor jangka panjang dengan cost of fund yang rendah.

 

Strategi Pemerintah Dalam Transisi Energi

Di samping program ETM, terdapat 3 (tiga) strategi yang disiapkan pemerintah Indonesia dalam transisi energi. Pertama, transisi energi harus disesuaikan dengan kapasitas dan keadaan masing-masing negara.

Kedua, teknologi rendah emisi yang inovatif seperti teknologi CCS/CCUS dalam beberapa hal dapat diterapkan pada pembangkit listrik fosil yang ada untuk mempercepat pengurangan emisi sambil beralih ke energi yang lebih bersih dan lebih hijau. Terakhir, kerjasama dengan negara-negara ASEAN dalam mengembangkan jalur transisi energi yang saling terhubung perlu digalakkan.

"Akselerasi (transisi energi) ini sangat penting untuk memastikan akses teknologi bersih lebih terbuka, mekanisme pembiayaan yang inovatif, perbaikan kerangka peraturan demi menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan lebih menarik, hingga pengembangan infrastruktur energi yang terintegrasi seperti pembangunan super grid dan transmisi smart grid untuk memastikan stabilitas dan keandalan sistem listrik," tutup Arifin.

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya