Buka-bukaan Penyebab Harga Minyak Goreng hingga Daging Sapi Mahal

Masyarakat tengah dihadapkan oleh kenaikan harga komoditas pangan, seperti daging sapi, tahu tempe dan minyak goreng.

oleh Arief Rahman H diperbarui 25 Feb 2022, 18:40 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2022, 18:40 WIB
20160805-Pedagang Daging Sapi-Jakarta- Angga Yuniar
Aktivitas jual beli daging sapi di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (5/8). Pemerintah mencabut ketentuan kewajiban importir daging untuk menyerap daging lokal sebanyak tiga persen dari total kuota impor yang diperoleh. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Masyarakat tengah dihadapkan oleh kenaikan harga komoditas pangan. Mulai dari minyak goreng yang sulit ditemukan hingga harga daging sapi yang belakangan mengalami kenaikan hingga Rp 165 Ribu per Kilogram.

Koordinator Nasional Koalisi Masyarakat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengungkapkan sejumlah penyebab harga komoditas pangan itu mengalami kenaikan. Untuk komoditas yang dengan tingkat produksi dalam negeri cukup besar, penyebabnya ada pada kapasitas produksi dan distribusi.

“Di tingkat produksi sebenarnya kita secara umum tidak ada masalah, terutama pangan yang dihasilkan dalam negeri seperti beras dan minyak goreng. produksinya baik baik saja,” katanya kepada Liputan6.com, Jumat (25/2/2022).

Sementara itu, untuk komoditas yang cukup bergantung pada impor, seperti daging, gula dan kedelai, ini dipengaruhi oleh pasokan internasional. Sehingga harga di dalam negeri juga dipengaruhi fluktuasi harga dan supply chain global.

“Pada pangan yang diimpor persoalannya karena produksi global tidak cukup menghadapi peningkatan permintaan semisal kedelai, yang sebagian besar diborong China. Dengan begitu ketersediaan dalam negeri jadi kecil, kalau pun ada, pasti harganya naik berlipat lipat,” terangnya.

Sementara itu, pada pangan yang produksi dalam negerinya cukup, ia menduga terjadi ‘permainan’ di ranah produsen dan distributor. “Hal ini bisa kita lihat pada kasus minyak goreng,” katanya.

Ia menyebut, kenaikan harga pangan sendiri lumrah terjadi ketika menghadapi momen-momen tertentu seperti Ramadan, Idul Fitri, ataupun hari raya Natal. Jadi, menurut Said, pemerintah seharusnya sudah bisa mengantisipasi hal ini.

“Tahun ini tentu bisa lebih berat, selain karena secara alamiah peningkat permintaan terjadi di hari hari tersebut juga karena pasokan dari impor kemungkinan terganggu,” katanya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Kedaulatan Pangan

Alasan Perajin Tempe Cirebon Pilih Kedelai Impor Hingga Mogok Produksi
Perajin tempe di Cirebon mengaku pemilihan kedelai impor karena cocok dan tahan lama dibandingkan kedelai lokal. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Lebih lanjut, sebagai solusi jangka panjang, Said menyebut pemerintah perlu mengakhiri situasi ketergantungan terhadap impor. Artinya perlu ada upaya kedaulatan pangan yang terjadi di dalam negeri.

“Pangan menjadi salah satu hal penting yang dapat menentukan stabil atau porakporandanya negara, sudah banyak contohnya,” kata dia.

“situasi ketergantungan ini perlu segera diakhiri dan kita harus berdaulat pangan. sudah saatnya keberlanjutan hidup bangsa dan negara digantungan pada negara lain tapi harusnya mampu berdiri diatas lahan dan piring sendiri. untuk mencapai  itu maka diperlukan rancangan dan peta jalan untuk menguatkan produksi dalam negeri dan secara bertahap mengurangi impor,” terang Said.

Dengan demikian, ia menilai perlu dilakukan penguatan produksi dengan memperkuat dukunga kepada petani untuk meningkatkan produksinya. Dukungan itu bisa dalam betuk pemberian akses terhadap faktor produksi seperti lahan, benih, modal, pendampingan hingga alat.

Selain itu, bisa juga dengan memberikan dukungan ke sektor pasar, seperti pengolahan hingga pendampingan penjualan.

“Dan seperti kita tahun produsen terbesar pangan kita adalah petani. dengan demikian itu dukungan itu harusnya prioritasnya pada petani,” katanya.

“Guna menumbuhkan produksi dalam negeri perlu juga dilihat kebijakan dan tata impor pangan kita. misalnya dengan mengenakan tarif impor yang lebih tinggi untuk mengurangi impor,” imbuh Said.

Ia menilai impor yang tinggi karena bea masuk yang mencapai 0 persen pada kasus kedelai tentu saja akan menyebabkan produk petani dalam negeri tidak kompetitif karena jadi lebih mahal. Akibatnya kalah bersaing dengan produk impor.

“Jika demikian maka produksi dalam negeri akan terus berkurang,” katanya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya