Kata Joe Biden soal Ramalan Resesi AS

Joe Biden pun menanggapi peringatan para ekonom bahwa AS tengah berada dalam risiko menuju resesi.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 20 Jun 2022, 11:32 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2022, 10:35 WIB
Presiden Amerika Serikat Joe Biden (AP)
Presiden Amerika Serikat Joe Biden (AP).

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengakui adanya ancaman resesi, dengan luasnya dampak pandemi Covid-19 ditambah dengan kenaikan harga yang telah mendorong inflasi ke angka tertinggi.

Hal itu ia sampaikan dalam wawancara khusus selama 30 menit di Oval Office dengan kantor berita Associated Press.

"Masyarakat benar-benar terpuruk. Kebutuhan akan kesehatan mental di Amerika telah meroket. Tetapi sebagian besar adalah konsekuensi dari apa yang terjadi, sebagai konsekuensi dari, krisis Covid-19," ungkap Joe Biden, dikutip dari Associated Press, Senin (20/6/2022).

Joe Biden pun menanggapi peringatan para ekonom bahwa AS tengah berada dalam risiko menuju resesi.

“Pertama-tama, itu (resesi) tidak bisa dihindari,” katanya.

"Kedua, kita berada dalam posisi yang lebih kuat daripada negara mana pun di dunia untuk mengatasi inflasi ini," lanjut Joe Biden.

Joe Biden mengatakan, dirinya melihat alasan untuk tetap optimis dengan tingkat pengangguran AS yang hanya 3,6 persen.

Sementara itu, survei yang dilakukan Associated Press-NORC Center for Public Research pada Mei 2022 mengungkapkan bahwa hanya sekitar 2 dari 10 orang dewasa di AS yang mengatakan bahwa ekonomi negara itu dalam kondisi ekonomi yang baik.

Presiden ke-46 AS itu mengatakan dia ingin memberi rakyatnya lebih banyak semangat dan terus sabar. 

“Percaya diri. Karena saya yakin kita berada di posisi yang lebih baik daripada negara mana pun di dunia untuk menguasai kuartal kedua abad ke-21," ujar Joe Biden. 

The Fed Naikkan Suku Bunga Tertinggi Sejak 1994

Ilustrasi the Federal Reserve (Brandon Mowinkel/Unsplash)
Ilustrasi the Federal Reserve (Brandon Mowinkel/Unsplash)

Diketahui bahwa Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) pekan lalu menaikkan suku bunga paling agresif dalam hampir 30 tahun.

Suku bunga The Fed naik sebesar 0,75 poin persentase di tengah perjuangan AS mengatasi lonjakan inflasi.

Dilansir dari Channel News Asia, kenaikan suku bunga The Fed sebesar 0,75 poin persentase datang dengan The Fed yang berada di bawah tekanan kuat untuk mengekang melonjaknya harga gas dan makanan yang telah membuat jutaan orang di AS berjuang untuk memenuhi kebutuhan. 

Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan kenaikan suku bunga itu "penting" untuk menurunkan inflasi, dan pembuat kebijakan "memiliki alat yang dibutuhkan dan tekad yang diperlukan untuk memulihkan stabilitas harga atas nama keluarga Amerika."

Dia menekankan bahwa tujuan kenaikkan suku bunga adalah untuk menekan inflasi tanpa menggelincirkan ekonomi AS, tetapi mengakui selalu ada risiko jika melangkah terlalu jauh.

Federal Open Market Committee yang menetapkan kebijakan The Fed menaikkan suku bunga pinjaman acuan ke kisaran 1,5 hingga 1,75 persen, naik dari nol pada awal tahun.

Itu adalah kenaikan 75 basis poin pertama sejak November 1994.

Powell mengakui bahwa langkah tersebut sangat besar, tetapi dia tidak mengharapkan "langkah sebesar ini menjadi hal biasa."

"Namun, dari perspektif hari ini, kenaikan 50 basis poin atau 75 basis poin tampaknya paling mungkin terjadi pada pertemuan kami berikutnya," jelas Powell.

"Sangat penting bahwa kita menurunkan inflasi jika kita ingin memiliki periode berkelanjutan dari kondisi pasar tenaga kerja yang kuat yang menguntungkan semua orang," tambah sang ketua The Fed.

The Fed Agresif Dongkrak Suku Bunga, Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

The Fed
The Fed (www.n-tv.de)

Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga paling agresif dalam hampir 30 tahun pada rapat yang berlangsung pada tengah Juni 2022 ini. Kenaikannya mencapai 0,75 persen.

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, pengaruh pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak hanya faktor eksteral seperti kenaikan suku bunga the Fed saja. Melain kan juga banyak faktor dari dalam negeri yang bisa menahan laju pertumbuhan ekonomi. 

Faktor tersebut antara lain penyebaran wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak, penunjukkan menteri perdagangan yang berlatar belakang politisi, arah kebijakan fiskal 2023, penyesuaian tarif listrik dan pembatasan BBM subsidi, hingga mulai naiknya kasus Covid-19.

"Downside risk tidak saja karena faktor eksternal tapi bersumber dari fundamental ekonomi yang mulai terganggu. Surplus perdagangan pada Mei mulai mengecil, karena beberapa harga komoditas seperti batu bara dan sawit alami koreksi," kata Bhima dalam pesan singkat kepada Liputan6.com, Jumat (17/6/2022).

"Pemerintah dalam hal ini Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sebaiknya segera lakukan stres test kembali terhadap lembaga keuangan yang rentan atau memiliki exposure terhadap pembiayaan di luar negeri. Tingkatkan devisa ekspor dengan mendorong porsi produk industri bernilai tambah," lanjutnya.

Infografis Ketimpangan Ekonomi Global
Hampir 99 persen kekayaan dunia dimiliki, hanya oleh 1 persen kelompok tertentu (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya