Rupiah Terus Loyo Bisa Dongkrak Harga Makanan Minuman

Pelaku industri kecil dan menengah (IKM) di bidang makanan minuman rentan terhadap perubahan harga bahan baku yang terimbas pelemahan rupiah.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 15 Jul 2022, 12:31 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2022, 12:31 WIB
Ilustrasi gerai Alfamart (Foto: PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT)
Ilustrasi gerai Alfamart (Foto: PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT)

Liputan6.com, Jakarta Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi semakin mendongkrak harga barang konsumsi. Utamanya pada sektor industri makanan minuman berskala kecil.

Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman menilai, pelaku industri kecil dan menengah (IKM) di bidang makanan minuman rentan terhadap perubahan harga bahan baku. Pasalnya, mereka tidak memiliki stok bahan baku untuk jangka panjang.

"Terutama yang saya liat yang kecil. Lalu industri kecil daya tahannya rentan karena stok itu kadang harian, kadang mingguan," kata Adhi di Jakarta, dikutip Jumat (15/7/2022).

"Kalau yang besar kadang punya kontrak hingga Desember, itu masih tertolong," imbuh dia.

Adhi pun menyoroti pelaku usaha makanan minuman berskala kecil yang bersandar pada bahan baku tunggal, semisal tepung terigu, minyak goreng, hingga tempe.

Menurut dia, sektor tersebut paling rentan terkena kenaikan harga. Ambil contoh minyak goreng, dimana harga jualnya bergantung terhadap harga minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO).

"Tapi kalau snack, mie instan, itu masih bisa diakalin untuk mencari celah substitusi, mengganti formula dan sebagainya," ujar Adhi.

Kendati begitu, ia menambahkan, sebagian besar pelaku usaha masih menahan kenaikan harga meski ongkos produksinya meningkat. Mereka terpaksa memangkas margin keuntungan dibanding memberatkan konsumen.

"Kalau saya lihat, kebanyakan mengurangi margin (laba) karena kita khawatir, kalau menaikan harga jual itu makin berat. Jadi banyak yang menggerus marginnya," ungkap Adhi.

"Tapi kalau ini terus menerus dalam jangka panjang akan berat. Sehingga beberapa perusahaan memutuskan harus menaikan harga," pungkasnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Rupiah Menguat, tapi Rentan Melemah Dipengaruhi Data Ekonomi AS

Rupiah Kertas Tahun Emisi 2022
Ilustrasi Rupiah kertas pecahan Rp 100.000. (Sumber foto: Pexels.com).

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS jelang akhir pekan dibuka menguat dibayangi kenaikan suku bunga The Fed yang lebih agresif.

Rupiah pagi ini bergerak menguat 25 poin atau 0,17 persen ke posisi 14.995 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.020 per dolar AS.

"Pengaruh dari luar masih seputar nilai inflasi AS yang dilaporkan 9,1 persen secara year on year. Tingginya nilai inflasi meningkatkan ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed," kata analis analis Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) Revandra Aritama dikutip dari Antara, Jumat (15/7/2022).

Bahkan, lanjut Revandra, bank sentral AS disebut disebut berpeluang untuk meningkatkan suku bunga acuannya hingga 100 basis poin.

"Jika benar, meningkatnya nilai suku bunga ini berpeluang kembali mengerek nilai USD yang saat ini sudah cukup tinggi dan memberikan tekanan pada mata uang lain," ujar Revandra.

 

Perang Rusia-Ukraina jadi Biang Keladi Inflasi di Indonesia

FOTO: Inflasi Indonesia Diklaim Terendah di Dunia
Aktivitas perdagangan di Pasar Senin, Jakarta, Rabu (22/6/2022). Konflik Rusia dan Ukraina menambah melambungkan harga pangan dunia, namun inflasi Indonesia paling rendah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut perang Rusia-Ukraina makin memperburuk keadaan ekonomi global. Sebab Indonesia dan berbagai negara dunia baru mulai bangkit dari dampak pandemi yang memiliki banyak tantangan.

"Sebagai (bagian dari) dunia yang berjuang untuk pulih dari Pandemi, ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina semakin memperburuk tekanan ekonomi dan politik global," kata Sri Mulyani dalam Pembukaan Acara Sustainable Finance For Climate Transition di Bali Internasional Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Kamis (14/7).

Sri Mulyani mengatakan geopolitik Rusia dan Ukraina menjadi penyebab utama tekanan inflasi di Indonesia. Bahkan secara global telah membuat dunia mengalami krisis energi dan krisis pangan.

"Ketegangan atau perang geopolitik Rusia dan Ukraina tiba-tiba memiliki efek signifikan yang akan dirasakan secara global yang paling terlihat efeknya pada krisis energi pangandan juga tekanan inflasi bagi Indonesia," paparnya.

Dia menuturkan, dua negara ini memiliki peran yang besar dalam perekonomian dunia. Rusia memegang peran sebagai pengekspor minyak mentah terbesar kedua.

"Dalam hal ini perdagangan internasional Rusia adalah pengekspor minyak mentah terbesar kedua," kata dia.

Begitu juga dengan Ukraina sebagai pengekspor minyak nabati dari bunga matahari terbesar di dunia. Energi nabati ini banyak digunakan oleh negara-negara di Eropa.

Sehingga ketegangan yang terjadi sangat berdampak bagi negara-negara dunia. Hal ini membuat dunia mengalami krisis energi dan krisis pangan dalam waktu yang bersamaan.

 

Kenaikan Inflasi Indonesia Relatif Stabil, BI Tetap Waspada

Inflasi
Ilustrasi Inflasi (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Berbagai negara di dunia tengah menghadapi tantangan kenaikan angka inflasi. Sejumlah bank sentral pun mengeluarkan kebijakan kenaikan suku bunga untuk menahan ganasnya kenaikan inflasi. 

Indonesia pun hampir sama tengah menghadapi tekanan inflasi. Tercatat, angka inflasi secara tahunan di Juni 2022 capai 4,35 persen. Capaian itu jadi yang tertinggi sejak 5 tahun terakhir.

Namun Kepala Institut Bank Indonesia (BI) Yoga Affandi menilai, kenaikan angka inflasi Indonesia masih relatif stabil. "Tentu saja kita perlu mewaspadai ekspektasi inflasi yang datang dari sini," kata Yoga dalam agenda Central Bank Policy Mix for Stability and Economic Recovery, di Nusa Dua Bali, Rabu (13/7/2022).

Yoga mengatakan komponen inflasi inti di Indonesia masih terkelola dengan baik. Ekspektasi inflasi masih mendekati 3 persen plus minus 1 persen.

"Inilah mengapa saya tidak berpikir jebakan inflasi ini di masa depan, tetapi tentu saja kita membutuhkan lebih banyak kewaspadaan," katanya.

Sementara itu pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tetap tinggi. Per kuartal-I, 2022 ekonomi mampu tumbuh 5,01 persen.

"Ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi masih sehat. Jadi artinya, risiko stagflasi tentu ada risikonya, tetapi perlu diwaspadai dan disikapi," katanya.

Untuk itu menurutnya kerangka bauran kebijakan sangat penting di sini. Dari sisi pemerataan, saat ini BI perlu memiliki stabilitas rupiah, baik dari sisi perkembangan seperti inflasi, maupun nilai tukar rupiah.

"Kami tentu saja mempertimbangkan pertumbuhan, serta pertumbuhan inklusif. Saat ini, kita mengamanatkan stabilitas rupiah dan nilai tukar, perlu diwaspadai," kata dia mengakhiri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya