Liputan6.com, Jakarta - Analis menyebut Sri Lanka tidak akan dapat menyelesaikan masalah utangnya tanpa bantuan dari China, ketika negara itu menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun.
Diketahui bahwa Sri Lanka telah gagal membayar utangnya atau default, ditambah dengan kekurangan bahan bakar, pangan, dan bahan pokok lainnya.Â
Baca Juga
Dosen di Universitas Kolombo, yakni Umesh Moramudali mengatakan bahwa kesediaan China untuk memberikan keringanan utang yang substansial ke Sri Lanka akan sangat penting dalam mempercepat restrukturisasi utang.Â
Advertisement
"Kita tidak bisa keluar dari krisis ini tanpa China," kata Moramudali, dikutip dari CNBC International, Rabu (20/7/2022).
"China perlu setuju untuk merestrukturisasi utang, yang bukan jalan yang biasa mereka (Sri Lanka) ambil," ujarnya kepada Streets Signs Asia CNBC.
Moramudali menambahkan, "Sri Lanka perlu mencapai kerangka kerja bersama dan apa yang ditekankan oleh komunitas internasional adalah bahwa China juga menyetujui kerangka kerja bersama untuk restrukturisasi utang".
Namun, dia menyebut, sejauh ini belum diketahui jelas tingkat negosiasi Sri Lanka untuk bantuan restrukturisasi utang, terutama dengan China.
Sementara itu, dalam sebuah konferensi pers pekan lalu, juru bicara kementerian luar negeri China Wang Wenbin telah menyatakan bahwa "tak lama setelah pemerintah Sri Lanka mengumumkan untuk menangguhkan pembayaran utang internasional, lembaga keuangan China telah menjangkau pihak Sri Lanka dan menyatakan kesiapan untuk berupaya menemukan cara yang tepat menangani utang jatuh yang sudah tempo".
Kapan Negosiasi Keringanan Utang Sri Lanka dengan IMF Rampung?
Hal serupa juga disampaikan oleh Menteri Keuangan Amerika Serikat, Janet Yellen.
"China, tentu saja, adalah kreditur yang sangat penting bagi Sri Lanka. Sri Lanka jelas tidak mampu membayar utang itu. Dan itu adalah harapan saya bahwa China akan bersedia bekerja sama dengan Sri Lanka untuk merestrukturisasi utang - kemungkinan akan menjadi kepentingan China dan Sri Lanka," kata Yellen setelah pertemuan G20 pekan lalu.Â
Menurut data bank sentralnya, Sri Lanka saat ini memiliki cadangan devisa sekitar USD 2 miliar atau Rp 29,9 triliun terhadap total utang senilai USD 7 miliar atau setara Rp 104,7 triliun yang jatuh tempo tahun ini, termasuk wesel senilai USD 1 miliar yang jatuh tempo pada bulan Juli 2022.
Penjabat presiden Wickremesinghe mengatakan bahwa negara itu hampir menyelesaikan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional untuk kemungkinan keringanan utang.
Negosiasi dengan IMF "mendekati kesimpulan, dan diskusi dengan negara-negara donor juga sedang berlangsung," kata kantor kepresidenan Wickremesinghe dalam sebuah postingan twitter.
Di sisi lain, Moramudali melihat negosiasi dengan IMF akan berlanjut setelah ada pemerintahan baru.
"(Pembicaraan) itu tidak akan disimpulkan secepat yang dikatakan pejabat presiden. Saya pikir kita semua perlu mengakuinya karena mungkin butuh beberapa bulan untuk menyelesaikan kesepakatan," pungkas Moramudali.
Advertisement
IMF Wanti-wanti Krisis Sri Lanka jadi Peringatan Bagi Ekonomi Negara Asia Lain
Kepala Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bahwa krisis ekonomi di Sri Lanka merupakan peringatan bagi ekonomi di negara-negara Asia lainnya.
Diketahui bahwa Sri Lanka tengah berada di tengah krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, memicu protes besar dan melihat presidennya mundur setelah melarikan diri dari negara itu.
"Negara-negara dengan tingkat utang yang tinggi dan ruang kebijakan yang terbatas akan menghadapi tekanan tambahan. Tidak terabaikan lagi Sri Lanka menjadi tanda peringatan," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, dikutip dari BBC, Senin (18/7/2022).Â
Lebih lanjut, Georgieva mengatakan bahwa negara-negara berkembang juga mengalami arus keluar modal yang berkelanjutan selama empat bulan berturut-turut, menempatkan impian mereka untuk mengejar ekonomi maju terhambat.
Sri Lanka kini sedang berjuang untuk membayar impor penting seperti pangan, bahan bakar dan obat-obatan untuk 22 juta penduduknya, saat negara itu berjuang melawan krisis valuta asing.
Inflasi Sri Lanka sendiri telah melonjak sekitar 50 persen, dengan harga pangan 80 persen lebih tinggi dari tahun lalu.
Ditamah lagi, Rupee Sri Lanka telah merosot nilainya terhadap dolar AS dan mata uang global utama lainnya tahun ini.
Sejumlah besar publik di negara itu menyalahkan kepemimpinan mantan presiden Gotabaya Rajapaksa dalam menangani ekonomi dengan kebijakan yang dampaknya hanya diperparah oleh pandemi Covid-19.
Selama bertahun-tahun, Sri Lanka telah menumpuk sejumlah besar utang.
Bulan lalu, Sri Lanka menjadi negara pertama di kawasan Asia Pasifik dalam 20 tahun yang gagal membayar utang luar negerinya.
Para pejabat Sri Lanka telah bernegosiasi dengan IMF untuk paket bailout USD 3 miliar. Namun pembicaraan tersebut saat ini terhenti di tengah masalah politik.