OJK Minta Sektor Jasa Keuangan Terapkan Tata Kelola Terintegrasi

Otoritaa Jasa Keuangan (OJK) meminta usaha sektor jasa keuangan untuk memberhatikan tiga hal.

oleh Arief Rahman H diperbarui 27 Agu 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2022, 18:00 WIB
Logo OJK. Liputan6.com/Nurmayanti
Logo OJK. Liputan6.com/Nurmayanti

Liputan6.com, Jakarta Otoritaa Jasa Keuangan (OJK) meminta usaha sektor jasa keuangan untuk memberhatikan tiga hal. Yakni, soal tata kelola (governance), manajemen risiko (risk management), dan kepatuhan (complience) atau GRC.

Ketiganya perlu dilakukan secara terintegrasi antara satu dan lainnya. Tujuannya bisa dapat meningkatkan ketahanan, berdaya saing, adaptif, efisien dan berkontribusi optimal terhadap pembangunan ekonomi. Serta mampu menyediakan produk dan layanan keuangan yang berorientasi pada konsumen.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Audit OJK Sophia Wattimena dalam paparannya pada GRC Summit 2022 “Sailing in the Multiverse of Uncertainty” yang diselenggarakan oleh gabungan beberapa asosiasi GRC di Yogyakarta beberapa waktu lalu.

“Kami percaya GRC Terintegrasi perlu diterapkan di Sektor Jasa Keuangan (SJK) Indonesia. Karena secara global, SJK menghadapi perkembangan ekonomi digital yang pesat seiring dengan perubahan perilaku konsumen, kebutuhan pembiayaan pembangunan nasional yang relatif besar, dan volatilitas yang tinggi di pasar keuangan global,” kata Sophia mengutip keterangannya, Sabtu (27/7/2022).

Lebih lanjut Sophia menyampaikan bahwa GRC sebagai suatu disiplin ilmu bertujuan untuk mengolaborasikan dan menyinkronkan informasi dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi. Sebuah proses bisnis akan dipaksa untuk berubah dengan mempertimbangkan adanya kemajuan teknologi dan risiko global yang dihadapi.

Di era globalisasi dan perkembangan teknologi, timbul risiko dan permasalahan baru di aspek lingkungan hidup, sosial, teknologi, kesehatan seperti Covid 19, maupun konflik geopolitik seperti di Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok global.

Risiko dan permasalahan tersebut dapat berdampak signifikan pada sektor keuangan. Oleh karena itu, pemerintah dan swasta harus saling berkolaborasi untuk menanggulangi masalah yang timbul serta potensi risiko yang akan dihadapi.

Selain itu, adaptasi serta inovasi terhadap suatu proses bisnis menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Dalam rangka melakukan mitigasi risiko dan penguatan tata kelola di era saat ini, dibutuhkan sebuah metode terintegrasi yang dapat menavigasi kerangka 3 lines of defense pada sebuah organisasi.

 

Jadi Lebih Penting

20151104-OJK Pastikan Enam Peraturan Akan Selesai Pada 2015
Petugas saat bertugas di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Selanjutnya, Sophia menyebut Seiring dengan meningkatnya perubahan dan kematangan organisasi tersebut, GRC menjadi lebih penting untuk diselaraskan pula dengan perubahan proses bisnis organisasi.

"Jika GRC diterapkan dengan menggunakan teknologi secara efektif, akan memungkinkan para pengambil keputusan untuk memprediksi risiko dengan akurasiyang lebih besar, dan memanfaatkan peluang yang penting bagi perkembangan organisasi," paparnya.

Dalam penerapan GRC di internal organisasi, OJK telah menerapkan metode Combined Assurance dalam kerangka 3 lines of defense. Di mana, metode tersebut mengoptimalkan cara untuk memastikan penerapan GRC di semua lini pertahanan.

Pelaksanaan asuransi terintegrasi di semua lini menggunakan risiko sebagai basisnya. Dengan demikian, penerapan GRC dapat dipantau dan dievaluasi secara berkesinambungan dan lebih efektif terhadap isu yang signifikan.

Sebagai regulator di sektor jasa keuangan di Indonesia, OJK juga berkomitmen untuk turut andil secara proaktif dalam memperkuat GRC di sektor jasa keuangan dengan mengeluarkan beberapa Peraturan OJK (POJK) terkait baik di bidang Perbankan, Pasar Modal maupun Industri Keuangan Non-bank yang akan terus disesuaikan memperhatikan perkembangan GRC terkini.

 

Konflik Global

FOTO: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Konflik global tengah berkecamuk. perang antara Rusia dengan Ukraina dan ketegangan China dengan Taiwan masih berkecamuk. konflik ada masih terus berlangsung dan diperkirakan akan terus berlanjut. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menjelaskan, penyelesaian konflik global yang terjadi sekarang diselesaikan dengan cara yang tidak tepat.

"Yang sebenarnya bisa mengatasi adalah Pemerintah dan pihak-pihak yang mampu mengurai permasalahan pasokan dari segi supply," kata Mahendra Sidang Pleno ISEI XXII dan Seminar Nasional 2022 di Semarang, Rabu (24/8/2022).

Namun yang terjadi malah diselesaikan lewat jalur keuangan. Bank-bank sentral dunia malah menaikkan suku bunga sebagai respons kenaikan inflasi yang disebabkan geopolitik.

"Padahal yang kita lihat sekarang, yang ambil peran justru bank-bank sentral dunia, yaitu The Fed, Bank of England, ICB artinya apa? Ini adalah pendekatan yang tidak tepat," kata dia.

 

Geopolitik

BI Prediksi Ekonomi RI Tumbuh 5,4 Persen di 2019
Pemandangan gedung bertingkat di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis (14/3). Bank Indonesia (BI) meyakini pada tahun ini inflasi masih akan terkendali. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Mahendra menjelaskan persoalan utamanya pasokan, supply dan geopolitik yang terjadi sektor rill. Namun pendekatanya dari kebijakan tingkat bunga dan likuiditas yang diharapkan diselesaikan bank sentral. Padahal ini hanya bisa mempengaruhi permintaan.

"Jadi terjadi mix match, sehingga yang terjadi saat ini bukan sekedar bagaimana bank sentral bisa menyelesaikan masalah geopolitik dan masalah pasokan dunia lalu kondisi kepada keterbatasan dan rantai pasok tadi," tuturnya.

Dia pun menganalogikan kondisi yang terjadi sekarang seperti menyaksikan kejuaraan Karateka kelas bantam yang diwakili The Fed. Kemudian bertarung dengan Bank of England dan ICB dalam pertandingan tinju kelas berat.

"Artinya apa bukan hanya kelasnya beda, pertandingannya pun salah. Karateka masuk ke pertandingan tinju kelas berat, bisa apa? Itu yang kita lihat sekarang," kata dia.

Padahal seharusnya para bank sentral tersebut tidak turut campur dalam mengatasi geopolitik. Sebaliknya negara-negara terkait segera menyelesaikan masalah dan menghentikan perang.

"Padahal yang diharapkan mestinya petinju kelas berat dan juara dunianya, tapi juara dunia petinju kelas berat itu justru bagian dari masalah," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya