Dirjen Pajak Permudah Administrasi Penerima Royalti, Ini Contoh Hitungannya

Dirjen Pajak Suryo Utomo menetapkan Peraturan Dirjen Pajak tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti yang Diterima Oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menerapkan Penghitungan Pajak Penghasilan Menggunakan NPPN.

oleh Tira Santia diperbarui 21 Mar 2023, 17:03 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2023, 12:00 WIB
Pemerintah Peroleh Pajak Rp2,48 Triliun dari Program PPS
Dirjen Pajak Suryo Utomo menetapkan Peraturan Dirjen Pajak tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti yang Diterima Oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menerapkan Penghitungan Pajak Penghasilan Menggunakan NPPN. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mempermudah tata cara pemotongan royalti. Kemudahan tersebut tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 Atas Penghasilan Royalti yang Diterima Oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menerapkan Penghitungan Pajak Penghasilan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti menjelaskan, peraturan tersebut mengatur bahwa atas penghasilan royalti yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi (WP OP) pengguna NPPN, yakni wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp 4,8 miliar, dikenai pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15 persen dengan dasar pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 40 persen (empat puluh persen) dari jumlah bruto penghasilan royalti tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

"Dengan kata lain, tarif efektif pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan royalti yang diterima wajib pajak orang pribadi pengguna NPPN adalah sebesar 6 persen dari jumlah bruto royalti atau turun dari sebelumnya yaitu 15 persen,"kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (21/3/2023).

Latar belakang peraturan ini adalah untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi WP OP pengguna NPPN yang menerima royalti.

“Selain penurunan tarif efektif, kemudahan dan kepastian hukum tersebut berupa kemungkinan untuk tidak menjalani administrasi pemeriksaan restitusi atas Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya yang selama ini cenderung lebih bayar,” tambah Dwi Astuti.

Lebih lanjut, Dwi menyimulasikan penghitungan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa royalti yang diterima oleh WP OP NPPN.

 Penghasilan bruto  100.000.000    1.000.000.000    4.800.000000  
Penghasilan neto (norma 50%) 50.000.000     500.000.000    2.400.000.000  
 PTKP  54.000.000    54.000.000    54.000.000  
 PhKP  -    446.000.000    2.346.000.000  
 PPh terutang setahun  -    80.500.000    647.800.000  
 PPh Pasal 23   KB (LB)   KB (LB)   KB (LB)
 15% x bruto royalti  15.000.000 15.000.000  150.000.000 69.500.000  720.000.000 72.200.000

-

Tabel di atas adalah contoh WP OP pengguna NPPN dengan norma 50 persen menerima royalti dan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15 persen atas keseluruhan jumlah bruto royalti. Contoh tersebut menunjukkan bahwa WP OP cenderung akan lebih bayar pada saat melaporkan SPT Tahunan.

SPT Tahunan dengan status lebih bayar berhak untuk menerima pengembalian pajak yang telah dibayarkan (restitusi), namun harus melalui mekanisme pemeriksaan sesuai pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Jangka waktu pemeriksaan lebih bayar paling lama 12 bulan.

“Dengan adanya penurunan tarif efektif tersebut sekaligus menjadi quickwin pelayanan yang lebih baik dan mengurangi cost of compliance dari wajib pajak karena SPT Tahunan wajib pajak menjadi tidak selalu lebih bayar,” pungkas Dwi.

DJP Tebar Surat Cinta Ingatkan Wajib Pajak Lapor SPT Tahunan PPh

FOTO: Suasana Hari Terakhir Pelaporan SPT Wajib Pajak
Petugas melayani wajib pajak yang melaporkan SPT tahunan di KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga, Jakarta, Kamis (31/3/2022). Rata-rata mereka yang datang ingin menanyakan perihal electronic filing identification number (EFIN). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah membuka pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan atau SPT Tahunan PPh pada 1 Januari 2023. Pelaporan SPT tahunan ini akan berlangsung sampai dengsn 31 Maret 2023 untuk wajib pajak pribadi dan 30 April 2023 untuk wajib pajak perusahaan.

Di tengah Februari ini, DJP mulai getol mengajak wajib pajak untuk melapor SPT tahunan ini. Berbagai cara dilakukan baik melalui sosialisasi melalui media massa dan juga media sosial termasuk juga mengirim surat cinta secara pribadi ke wajib pajak.

Jadi jangan kaget jika tiba-tiba mendapat pesan melakui SMS atau aplikasi WhatsApp untuk diminta melakukan pelaporan SPT. Berikut contohnya:

Pelaporan SPT Tahunan dan Pemutakhiran Data Wajib Pajak

Yth. xxxxxx

NPWP : xxxxxx

Semoga Saudara senantiasa dalam keadaan sehat dan dimudahkan dalam segala urusan.

Salah satu kewajiban Saudara sebagai wajib pajak adalah menyampaikan SPT Tahunan dengan benar, lengkap, dan jelas.

Untuk menghindari sanksi administrasi perpajakan , Saudara diharapkan untuk segera melaporkan SPT Tahunan 2022 secara online melalui laman djponline.pajak.go.id paling lambat 31 Maret 2023.

Pastikan untuk melakukan pemutakhiran data NIK melalui laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (djponline.pajak.go.id) di menu profil agar data NPWP berstatus valid sebelum mengirimkan SPT.

Ajakan untuk segera melaporkan SPT tahunan melalui SMS atau WhatsApp ini dibenarkan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor.

"Sudah di cek, betul dari KPP Pratama, mengingatkan Wajib Pajak untuk lapor SPT sekaligus melakukan validasi atau pemadanan NIK - NPWP," jelas dia kepada Liputan6.com seperti ditulis pada Minggu (12/2/2023).

Oleh karena itu DJP pun meminta kepada seluruh wajib pajak untuk segera melaporkan SPT tahunan ini. Pasalnya, ada denda yang menunggu jika tidak melaporkan.

Wajib pajak yang telat melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan atau SPT Pajak akan dikenakan sanksi Rp 100.000 untuk wajib pajak orang pribadi. Sedangkan untuk wajib pajak badan dikenakan sanksi Rp 1.000.000. Sanksi tersebut sesuai dengan Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

Infografis Dugaan Suap di Kantor Pajak. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Dugaan Suap di Kantor Pajak. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya