Liputan6.com, Jakarta - Dari China hingga Amerika Serikat dan Eropa, produksi beras secara global menurun dan menaikkan harga bagi lebih dari 3,5 miliar orang di seluruh dunia.
Beban ini juga terasa di kawasan Asia-Pasifik, yang mengonsumsi 90 persen beras dunia. Hal itu diungkapkan oleh lembaga pemeringkat asal Amerika Serikat, Fitch Solutions dalam sebuah laporan pada awal April 2023.
Baca Juga
Melansir CNBC International, Rabu, (19/4/2023) Fitch Solutions memprediksik pasar beras global akan mencatat kekurangan terbesarnya dalam dua dekade pada tahun 2023.
Advertisement
Dan defisit sebesar ini, beras, sebagai salah satu biji-bijian yang paling banyak dibudidayakan di dunia akan merugikan importir besar, menurut para analis di Fitch.
"Di tingkat global, dampak paling nyata dari defisit beras global adalah, dan masih, harga beras yang tinggi selama satu dekade," kata analis komoditas Fitch Solutions, Charles Hart.
Fitch Solutions mengungkapkan, harga beras diperkirakan akan tetap berada di sekitar level tertinggi saat ini hingga tahun 2024, dengan rata-rata sebesar USD 17,30 per cwt hingga 2023 tahun ini.
Untuk tahun 2024 mendatang, harga beras diprediksi hanya akan turun menjadi USD 14,50 per cwt. Sebagai informasi, Cwt adalah satuan ukuran untuk komoditas tertentu seperti beras.
"Mengingat beras adalah komoditas makanan pokok di berbagai pasar di Asia, harga menjadi penentu utama inflasi harga pangan dan ketahanan pangan, terutama untuk rumah tangga termiskin," jelas Hart.
Kekurangan global untuk beras di tahun 2022/2023 akan mencapai 8,7 juta ton, demikian perkiraan Fitch Solutions. Masalah ini dikhawatirkan berisiko merusak defisit beras global terbesar sejak 2003/2004, ketika pasar beras global menghasilkan defisit 18,6 juta ton.
Cuaca Buruk di China dan Bencana Banjir di Pakistan Hambat Produksi Beras Terbesar Dunia
Fitch Solutions menyoroti kekurangan pasokan beras imbas dari dari perang yang sedang berlangsung di Ukraina, serta cuaca buruk di negara penghasil beras seperti China dan Pakistan.
Pada paruh kedua tahun lalu, petak-petak lahan pertanian beras di China, yang merupakan produsen beras terbesar di dunia, dilanda hujan musim panas yang lebat dan banjir.
Akumulasi curah hujan di provinsi Guangxi dan Guangdong, pusat utama produksi beras China, adalah yang tertinggi kedua dalam setidaknya 20 tahun, menurut perusahaan analitik pertanian Gro Intelligence.
Demikian pula, Pakistan — yang mewakili 7,6 persen dari perdagangan beras global — mengalami penurunan produksi tahunan sebesar 31 persen year on year karena banjir parah tahun lalu, menurut Departemen Pertanian AS (USDA), menyebut dampaknya bahkan lebih buruk dari awalnya.
Kekurangan tersebut sebagian disebabkan oleh "kemerosotan panen tahunan diChina yang disebabkan oleh panas dan kekeringan yang hebat serta dampak banjir yang parah di Pakistan" ujar Hart.
Padahal, beras menjadi alternatif yang semakin menarik menyusul lonjakan harga biji-bijian sejak perang Rusia Ukraina.
Advertisement
Indonesia Bakal Terdampak?
Oscar Tjakra, analis senior di bank pangan dan pertanian global Rabobank menyebut, poduksi beras yang lebih rendah di negara-negara lain seperti AS dan Eropa juga berkontribusi terhadap defisit.
"Situasi defisit produksi beras global akan meningkatkan biaya impor beras bagi importir beras besar seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, dan negara-negara Afrika pada 2023," kata Tjakra.
Banyak negara juga akan terpaksa menarik stok domestik mereka, menurut Kelly Goughary, analis riset senior di Gro Intelligence.
Dia mengatakan negara-negara yang paling terkena dampak defisit adalah negara-negara yang sudah dilanda lonjakan inflasi pangan domestik yang tinggi seperti Pakistan, Turki, Suriah, dan beberapa negara Afrika.
"Pasar ekspor beras global, yang biasanya lebih ketat daripada biji-bijian utama lainnya… telah dipengaruhi oleh pembatasan ekspor India,” kata Hart dari Fitch Solutions.
India melarang ekspor beras pada bulan September, suatu tindakan yang menurut Hart telah menjadi pendorong kenaikan harga beras.