Liputan6.com, Jakarta- Aspek transparansi dan akuntabilitas sangat penting dalam pelaksanaan transisi energi. Saat ini sejumlah negara di dunia termasuk di ASEAN tengah mendorong transisi energi sebagai bentuk penanganan perubahan iklim.
Peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Mouna Wasef menjelaskan, sejumlah negara ASEAN, seperti Indonesia dan Philipina akan menghadapi tantangan tata kelola transisi mineral dalam pengembangan energi terbarukan.
Baca Juga
Bukan rahasia lagi, energi baru terbarukan sangat memerlukan pasokan mineral kritis seperti nikel, litium, kobalt, dan mangan, yang tinggi.
Advertisement
"Diperkirakan hingga dua dekade ke depan, peningkatan permintaan terhadap mineral pembentuk komponen teknologi bersih seperti nikel dan kobalt akan naik sebesar 60-70%, kemudian litium 90%, dan tembaga serta tanah jarang sebesar 40%," kata dia seperti ditulis Minggu (3/9/2023).
Industri ekstraktif mempunyai sejarah panjang korupsi dan tata kelola yang buruk. Memberantas korupsi sepanjang rantai pasokan sangat diperlukan untuk mewujudkan transisi energi yang adil. Menurut OECD, industri ekstraktif merupakan salah satu bidang usaha dengan risiko tertinggi dan merupakan satu dari setiap lima kasus suap transnasional.
Dengan besarnya keuntungan ekonomi yang dapat diekstraksi, mineral kritis menghadapi risiko korupsi yang sama yaitu state capture, PEP, konflik kepentingan, penyuapan, minimnya partisipasi serta pengawasan publik, dan diabaikannya dampak kerusakan lingkungan.
“Dalam konteks ini, justru bisa menjadi momentum untuk memperkuat Komitmen anti-korupsi dalam ASEAN yang juga masih menjadi tantangan besar” pungkas Mouna.
Mineral Kritis Kunci Energi Masa Depan, Sayang Pasokan Tipis
Sebelumnya, Direktur Program Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tri Winarno, menilai mineral kritis akan memegang peranan yang sangat vital dan strategis bagi seluruh negara. Khususnya dalam mendukung era transisi energi dari energi fosil menjadi energi terbarukan.
"Mineral Kritis sebagai bahan baku industri pembuatan panel surya, turbin angin, dan industri baterai yang digunakan untuk kendaraan listrik, dan juga storage untuk pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT)," jelasnya dikutip dari keterangan tertulis, Minggu (27/8/2023).
Mineral Kritis, sambung Tri, juga memiliki nilai yang sangat tinggi karena sulit ditemukan, diekstraksi dalam jumlah yang ekonomis, serta tidak mudah digantikan dengan logam atau bahan lain.
Dengan vital dan tingginya nilai mineral kritis tersebut, Tri mengatakan, kebutuhan mineral kritis akan meningkat secara signifikan. Sehingga timbul menjadi suatu tantangan dalam hal penyediaan pasokan mineral kritis di tingkat global.
"Tantangan lainnya adalah bagimana kita dapat eksplorasi lebih jauh sumber daya mineral kritis yang ada, dengan konfigurasi geologi di Kawasan ASEAN," ujar Tri.
Menurut dia, hilirisasi mineral di ASEAN juga menjadi tantangan lain, dimana negara-negara ASEAN harus menguasai teknologi pemurnian mineral untuk membantu pengembangan hilirisasi di masa depan.
Advertisement