Petani Sawit Ngeluh Dukungan Negara Masih Minim

Pemerintah diminta untuk memberikan dukungan penuh terhadap petani termasuk petani kelapa sawit yang kini tengah terimpit oleh adanya benturan regulasi di level pemerintah pusat

oleh Septian Deny diperbarui 24 Okt 2023, 18:00 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2023, 18:00 WIB
Ilustrasi CPO 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Pemerintah diminta untuk memberikan dukungan penuh terhadap petani termasuk petani kelapa sawit yang kini tengah terimpit oleh adanya benturan regulasi di level pemerintah pusat. (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta untuk memberikan dukungan penuh terhadap petani termasuk petani kelapa sawit yang kini tengah terimpit oleh adanya benturan regulasi di level pemerintah pusat

Dewan Pakar DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Tri Chandra Aprianto mengatakan, petani sangat sulit merasakan kehadiran negara dalam sengketa kawasan lahan sawit dengan kawasan hutan.

Padahal menurutnya para petani punya izin usaha yang legal dan menjadi pegangan untuk memproduktidkan lahan sejak pukuhan tahun silam. Namun legalitas itu dibenturkan dengan regulasi lain sehingga dianggap tidak sah secara sepihak.

"Kami sudah dua generasi. Petani seharusnya dicerahkan, dicerdaskan, dan dibina. Ini tidak terjadi sama sekali," katanya, Selasa (24/10/2023).

Tri menambahkan, para petani sawit seolah-olah dianggap sebagai orang hutan, karena lahan sawit secara tiba-tiba dimasukkan ke dalam kawasan hutan yang tanpa kejelasan batas, dan tidak menggunakan metode pengukuran yang jelas.

"Kami sudah dua generasi mengolah sawit. Tiba-tiba kami dimasukkan sebagai orang hutan. Ini kan sesuatu yang menurut kami irasional," ujarnya.

Lahan Kelapa Sawit

Pakar Hukum Kehutanan Sadino menambahkan, regulasi menjadi akar persoalah lahan kelapa sawit sehingga pemerintah menganggap izin usaha yang telah dikantongi petani sebagai sebuah pelanggaran karena adanya benturan aturan.

"Ini problem yang kita hadapi adalah basis pengaturan regulasi yang karut marut secara norma hukum," tegasnya.

Seperti yang diketahui, sengketa sawit terjadi karena penambahan beleid baru dalam Undang-undang Cipta Kerja yang terkait dengan perizinan usaha sawit, secara spesifik di Pasal 110 A dan 110 B.

Persoalannya aturan baru itu bertabrakan antara Hak Guna Usaha (HGU) yang puluhan tahun dimiliki baik itu perusahaan maupun masyarakat, dengan penunjukkan kawasan hutan oleh pemerintah.

Mendag Yakin Indonesia Menang Gugatan di WTO Soal Diskriminasi Sawit

Presiden Jokowi dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.
Presiden Jokowi dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Zulkifli Hasan menyambut sukacita komitmen China menambah impor crude palm oil atau CPO sebanyak 1 juta ton dari Indonesia.

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan yakin Indonesia menang dalam gugatan kebijakan diskriminasi sawit atau Crude Palm Oil (CPO) di World Trade Organization (WTO). Ia pun meminta dukungan semua pihak agar hasil yang diperoleh baik untuk Indonesia.

"Kita menggugat di WTO, dukung dan doakan biar kita menang. Pemerintah harus hadir dan all out, membela kepentingan merah putih, kepentingan kita," kata Zulkifli Hasan dalam peluncuran. bursa CPO Indonesia, Jakarta, Jumat (13/10/2023).

"Doakan saja mudah-mudahan nanti Desember kan hasilnya, mudah-mudahan kita menang," lanjutnya.Pada tahun 2019 lalu pemerintah melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) di WTO, pada 9 Desember 2019.

Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE. Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.

Keputusan ini dilakukan setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi atau pelaku usaha produk kelapa sawit dan setelah melalui kajian ilmiah, serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya.

 

Kebijakan Diskriminasi 

Ilustrasi CPO 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Gugatan ini dilakukan sebagai keseriusan Pemerintah Indonesia dalam melawan diskriminasi yang dilakukan UE melalui kebijakan RED II dan Delegated Regulation.

Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit.

Diskriminasi dimaksud akan berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE.

Melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan mulai tahun 2020 hingga tahun 2030 penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui.

Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.

Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.

Reporter: Siti Ayu Rachma

Sumber: Merdeka.com

Infografis Dampak Larangan Ekspor CPO dan Produk Turunannya. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Dampak Larangan Ekspor CPO dan Produk Turunannya. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya