Dibongkar Sri Mulyani, Pendapatan Negara Pernah Tekor Rp 270 Triliun

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap Indonesia pernah mencatatkan pendapatan negara yang jauh di bawah target. Hal ini disebabkan oleh pergerakan harga komoditas global.

oleh Arief Rahman H diperbarui 20 Mei 2024, 11:31 WIB
Diterbitkan 20 Mei 2024, 11:30 WIB
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati  dalam konferensi pers: PDB Kuartal III 2023 serta Stimulus Fiskal , Senin (6/11/2023). Tasha/Liputan6.com)
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers: PDB Kuartal III 2023 serta Stimulus Fiskal , Senin (6/11/2023). Tasha/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap Indonesia pernah mencatatkan pendapatan negara yang jauh di bawah target. Hal ini disebabkan oleh pergerakan harga komoditas global.

Dia menerangkan, pada 2015-2016, pendapatan negara pernah jauh di bawah target yang ditetapkan. Ini disebabkan dari naik-turunnya harga komoditas; saat mengalami kenaikannya bisa memberikan tambahan pemasukan, tapi bisa juga membebani APBN ketika harga komoditas anjlok.

"Sebagai gambaran ekonomi Indonesia pernah diahadapkan pada kondisi yang sangat sulit pada tahun 2015 dan 2016," ujar Sri Mulyani dalam Penyampaian Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN 2025, di Jakarta, Senin (20/5/2024).

Pada masa itu, pendapatan negara jauh dari target. Bahkan selisihnya tercatat berada di Rp 276 triliun pada 2015 dan Rp 267 triliun di 2016. Kondisi tersebut artinya turut membebani kinerja keuangan negara.

"Realisasi pendapatan negara jauh dibawah target dengan gap Rp 276 triliun atau mencapai 2,5 persen PDB pada 2015, dan Rp 267 triliun atau 2,1 persen tahun 2016," urainya.

Tekanan Fiskal

Sebagai solusi untuk mengatasi tekanan fiskal dan mengembalikan stabilitas ekonomi makro, pemerintah melakukan pengendalian belanja pada masa itu. Terutama dikakukan pada 2016 yang mencapai Rp 231 triliun atau 1,9 persen dari PDB.

"Masa-masa sulit tersebut menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal sering dihadapkan pada faktor-faktor yang diluar kendali pemerintah dan harus melakukan perubahan dan manuver kebijakan dengan tetap menjaga keseimbangan," bebernya.

 

Jaga Kepercayaan Investor

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Rapat Paripurna DPR RI, Senin (20/5/2024). (Fot: tangkapan layar/ Arief RH)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Rapat Paripurna DPR RI, Senin (20/5/2024). (Fot: tangkapan layar/ Arief RH)

Lebih lanjut, Bendahara Negara menyampaikan hal yang perlu dijaga adalah mempertahankan momentum pertumbuhan dan menjaga stabilitas dna kebelanjutan fiskal.

Dengan begitu, kebijakan fiskal yang tepat untuk menjaga kinerja ekonomi juga bisa berdampak pada investor. Utamanya adalah tingkat kepercayaan investor untuk menggelontorkan dananya.

"Kebijakan ekonomi makro dan kebijakan fiskal yang kredibel harus terus dijaga agar efektif dan dipercaya oleh seluruh stakeholder termasuk pelaku pasar dan investor. Ini adalah untuk kepentingan nasional bersama dan keberlanjutan pembangunan," tuturnya.

 

Terdampak Harga Komoditas

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa perekonomian negara-negara maju mulai mengalami tekanan, termasuk Jepang dan Inggris yang sudah masuk jurang resesi.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa perekonomian negara-negara maju mulai mengalami tekanan, termasuk Jepang dan Inggris yang sudah masuk jurang resesi.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap tekanan terhadap keuangan negara dari pergerakan harga komoditas. Termasuk dampaknya dari naik-turunnya harga minyak dunia dan baru bara.

Dia menyadari, kedua komoditas tersebut nyatanya memiliki dampak besar ke ekonomi Indonesia. Beberapa kasusnya pernah terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini.

"Jatuh bangunnya harga komoditas tentu menyebabkan dampak signifikan bagi ekonomi Indonesia," kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (20/5/2024).

"Pada saat harga tinggi memacu pertumbuhan melalui eksternal baik ekspor maupun permuntaan domestik. Sementara pada saat harga jatuh pertumbuhan ekonomi dan posisi fiskal mengalami tekanan berat," imbuhnya.

Dalam penyampaian Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebinakan Fiskal (KEM PPKF) RAPBN Tahun Anggaran 2025, dia merinci sejumlah tantangan kas negara dari fluktuasi harga komodita energi.

Misalnya, melonjaknya harga Minyak mentah Brent ke level USD 115 per barel pada Juni 2014 kemudian mengalami penurunan tajam ke titik terendah USD 28 per barel pada Januari 2016.

 

Harga Minyak

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat rokok ilegal di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Sri Mulyani mengaku takjub dengan temuan rokok ilegal yang sudah terkemas rapi. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Selanjutnya, pada masa pandemi Brent 2020 harga minyak turun pada level terendah yaitu USD 23 per barel. Namun, karena ketegangan geopolitik dan timbulnya perang di Ukraina, harga minyak melonjak hingga ke level USD 120 per barel pada Juni 2022.

"Pada tahun 2023, harga minyak turun tajam kembali menjadi USD 65 per barel, kemudian naik ke USD 90 (per barel) di awal 2024 akibat perang Gaza di Palestina," bebernya.

Tak cuma itu, dia mencatat harga batu bara yang pernah melambung ke 430 USD per ton pada September 2022. Lalu, mengalami penurunan tajam ke level USDZ 127 per ton pada November 2023.

"Harga CPO juga pernah (turun) terendah USD 544 per ton pada Juli 2019, kemudian (mengalami) lonjakan mencapai USD 1.800 dolar per ton pada Maret 2022," tegasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya