Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menyoroti kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama 10 tahun. Sederet program bantuan sosial (bansos) hingga investasi yang masuk Indonesia belum efektif.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti menilai kebijakan pemerintahan Jokowi belum efektif, misalnya mengenai kemiskinan dan lapangan kerja. Dia mencatat, dalam 10 tahun terakhir, tingkat kemiskinan hanya turun 2 persen.
Baca Juga
"Kalau kita lihat lagi kita tahu bahwa tingkat kemiskinan itu hanya turun 2 persen dalam kurun 10 tahun," kata Esther dalam diskusi Indef bertajuk Evaluasi 10 Tahun Jokowi Bidang Ekonomi, Selasa (27/8/2024).
Advertisement
Soal kemiskinan ini dia menilai kebijakan bansos yang dikucurkan belum efektif menekan angka kemiskinan di Indonesia.Â
"Artinya kebijakan pengentasan kemiskinan itu belum efektif ya, seperti halnya pemberian bansos beratus-ratus miliar itu sebenarnya bukan solusi," tegasnya.
Esther lantas menyampaikan, alih-alih pemberian bansos, pemerintah seharusnya menaruh perhatian lebih dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Menurutnya, ini jadi upaya sukses yang dilakukan oleh negara maju.
"Harusnya tingkat pendidikan itu harus ditingkatkan karena secara teori maupun based practice yang namanya negara maju itu bisa maju karena dalam kurun waktu tertentu dia melakukan yang namanya human research development atau pembangunan sumber daya manusia yang lebih difokuskan disana," bebernya.
Â
Kesenjangan Kemampuan
Di sisi lain, Esther menyoroti soal adanya kesenjangan (gap) di sektor ketenagakerjaan. Alhasil, menurutnya investasi yang masuk ke Indonesia belum mampu menyerap tenaga kerja.
"Di sisi lain karena sekarang kondisi sekarang ketenagakerjaan itu mengalami skill gap, maka investasi tidak ramah terhadap penciptaan lapangan pekerjaan, artinya investasi yang masuk itu kurang bisa menyerap naker karena adanya skill gap," kata dia.
Kemudian, Esther surut menyoroti adanya kontraksi fiskal dan moneter selama 10 tahun pemerintahan Jokowi. Pada sisi fiskal, dia melihat adanya kenaikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang naik signifikan.
Advertisement
Rasio Utang Naik
Sementara itu, di aspek moneter, tingkat suku bunga berada pada posisi yang tinggi. Tak lupa, Esther juga menyoroti deprediasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Di sisi fiskal, kenaikan rasio utang terhadap pDB ini naik sampai 3 kali lipat. Dan tidak diimbangi oleh penerimaan negara, pajak dan non pajak. Alokasi budget lebih banyak pada pengeluaran rutin dan bukan untuk belanja modal," tuturnya.
"Nah dari sisi moneter tingkat suku bunga itu tetap bertengger tinggi dan nilai tukar rupiah terhadap US Dollar terus merosot ya artinya terdepresiasi. Artinya baik dari sisi fiskal maupun moneter ini terus terkontraksi," sambung Sri Astuti.