Liputan6.com, Jakarta - "The sea is the same as it has been since before men ever went on it in boats.” - Ernest Hemmingway
Laut tetap sama sejak dahulu sebelum orang-orang berlayar di atasnya menggunakan perahu. Begitulah arti dari kutipan Ernest Hemmingway, penulis legendaris dari Amerika Serikat (AS).
Baca Juga
Kutipan itu menunjukkan kondisi lautan yang tak berubah sejak dahulu kala. Pada saat yang sama, bisa diartikan kalau laut menyimpan potensi yang tak sembarangan.
Advertisement
Ya, laut menjadi satu kekuatan yang jadi andalan Indonesia sebagai negara maritim. Bukan tanpa alasan, sejumlah komoditas kelautan jadi tumpuan bagi ekonomi 'Nusantara'. Potensi nyata dibuktikan dengan banyaknya ikan tuna di perairan Indonesia. Peluang ini yang tak disia-siakan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak tinggal diam. Sederet kekuatan Ekonomi Biru digaungkan, termasuk dalam menangkap cuan dari ikan tuna yang berlalu-lalang di lautan Indonesia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyadari peluang ikan tuna yang jadi andalan di Indonesia. Utamanya, soal peningkatan produktovitas hingga keberlanjutan penangkapan tuna.
"Beberapa wilayah perairan kita merupakan tempatnya ikan tuna, sehingga kita perlu inovasi agar komoditas ini produktivitasnya meningkat dan keberlanjutannya terjaga," ucap Trenggono, beberapa waktu lalu.
Bukan sembarangan, data yang dikantonginya menunjukkan, pasar global produk tuna (termasuk cakalang) tahun 2023 mencapai USD 15,92 miliar dengan volume sebesar 3,64 juta ton. Nilai impor dunia tersebut selama periode 2018-2023 mengalami peningkatan sebesar 0,7 persen per tahun.
Sementara itu, ekspor Indonesia tahun 2023 sebesar USD 927,13 juta atau setara dengan 5,8 persen dari total nilai impor dunia. Angka itu menempatkan Indonesia di peringkat kelima dibawah Thailand yang menguasai 14,7 persen pangsa pasar tuna global, diikuti Spanyol dengan 9,8 persen, Ekuador dengan 8,7 persen dan Tiongkok dengan 7,4 persen.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP, Budi Sulistiyo mengungkapkan keuntungan yang didapat Indonesia. Pada periode Januari-Juli 2024 saja , ekspor komoditas Tuna-Cakalang Indonesia mencapai USD 551,43 juta atau setara dengan 17,2 persen dari total ekspor produk perikanan Indonesia.
"Sehingga Tuna-Cakalang menduduki peringkat kedua sebagai penghasil devisa setelah udang," ujar Budi kepada Liputan6.com.
Ekspor Indonesia itu meningkat 7,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2023 atau sebesar USD 514,33 juta. Secara nilai, ekspor Tuna-Cakalang Indonesia di periode yang sama mengalami melambung tinggi 22,4 persen dari 115 ribu ton menjadi 140,76 ribu ton.
Langkah Tepat
Penguatan dalam memanfaatkan tuna menjadi komositas andalan Indonesia disambut baik Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita. Bertumpu pada hasil laur dinilai jadi cara yang tepat mengingat Indonesia sebagai negara maritim
"Soal ikan tuna, cakalang, dan tongkol yang diniatkan menjadi komoditas perikanan andalan, saya kira, sudah tepat. Karena kita adalah negara kelautan dan semestinya komoditas perikanan memang menjadi andalan kita, termasuk Lobster. Artinya, soal potensinya sangat besar dan unlimited, la wong kita negara kelautan," ucapnya kepada Liputan6.com.
Meski demikian, dia menyoroti upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk menangkap potensi tersebut. Termasuk besaran anggaran negara yang bisa menopang program penguatan itu. Baik untuk pengembangan ekosistem perikanan, riset, dan pengembangan SDM pendukung.
"Itu pertanyaan utamanya. Jika hanya narasi semata, tanpa diikuti program dan kebijakan yang jelas sekaligus anggaran yang cukup, maka ujungnya tentu sudah bisa ditebak, yakni nihil," kata Ronny.
Advertisement
Siasat Cuan Berlipat
Dalam menjawab itu, strategi penguatan daya saing tak lepas dari pandangan Budi Sulistiyo. Anak buah Menteri Trenggono itu mengambil sederet langkah dalam memperkuat posisi tuna Indonesia di mata dunia.
Misalnya, dengan penanganan hambatan tarif dan non-tarif di luar negeri. Khususnya penyelesaian perundingan penurunan tarif impor tuna olahan di Jepang pada forum Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) dari 9,6 persen menjadi 0 persen yang diharapkan dapat diimplementasikan pada tahun 2025.
"Penurunan tarif tersebut, diharapkan dapat mendorong peningkatan ekspor produk olahan tuna sekaligus mendukung hilirisasi industri tuna nasional, dan menstimulasi peningkatan investasi pengolahan tuna di Indonesia," katanya.
Pasar utama Tuna-Cakalang Indonesia pada periode Januari-Juli 2024 yaitu AS sebesar USD 126,56 juta atau 23 persen dari total ekspor Tuna-Cakalang Indonesia), ASEAN sebesar USD 115,22 juta atau 20,9 persen, Uni Eropa USD 83,40 juta atau 15,1 persen, Jepang USD 81,55 juta atau 14,8 persen, dan Timur Tengah USD 71,47 juta atau 13 persen.
Nilai ekspor komoditas Tuna-Cakalang tersebut mengalami peningkatan di pasar Amerika Serikat sebesar 4,4 persen, ASEAN sebesar 15,7 persen, Uni Eropa 58,6 persen dan Timur Tengah 0,05 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2023.
Nelayan Kecil Ikut Cuan
Budi Sulistiyo menyusun siasat untuk tak semata mencari keuntungan dari hasil kelautan ke luar negeri. Penguatan di dalam negeri turut menjadi perhatian yang tak lepas dari pandangannya. Salah satu cara terkuatnya melalui pencanangan Tahun Tuna di 2024 ini. Harapannya, konsumsi tuna bisa meningkat di pasar lokal.
Kemudian, Pembangunan Kampung Nelayan Modern (Kalamo) dengan beberapa intervensi. Salah satu lokasi pembangunan Kalamo tersebut adalah Biak Numfor yang merupakan sentra produksi tuna. Pembangunan ini dilakukan dalam rangka mendukung nelayan kecil di wilayah tersebut yang mengalami kesulitan untuk menyimpan hasil tangkapannya.
"KKP terus berusaha menjembatani para pelaku usaha untuk dapat meningkatkan kapasitasnya dalam rangka pemenuhan persyaratan ekspor dari pemerintah negara importir dan juga pihak ketiga seperti buyer dan pasar retail di luar negeri melalui kemitraan dengan berbagai pihak termasuk nelayan," jelasnya.
Advertisement
Jaminan Keberlanjutan
Langkah terobosan lainnya ikut diambil di usia 25 Tahun KKP. Perhatiannya turut dipusatkan pada keberlanjutan penangkapan ikan. Budi mengungkap sederet upaya yang diambilnya.
Dua program dari lima kebijakan Ekonomi Biru menyoroti soal keberlanjutan tadi. Pertama, memperluas Kawasan Konservasi Laut dengan target 30 persen luas perairan NKRI baik melalui pelestarian sumber daya ikan dengan pengelolaan efektif.
Maupun pelestarian keanekaragaman hayati untuk melindungi habitat kritis/penting, serta mempertahankan populasi spesies berada pada kelimpahan dan distribusi alami.
Kedua, penangkapan Ikan Terukur Berbasis Kuota yang bertujuan untuk mewujudkan Legal, Regulated, and Reported Fishing di Indonesia. Harapannya bisa meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap ekonomi nasional, menjaga stok ikan, dan Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Mengingat komoditas Tuna termasuk kelompok jenis ikan yang beruaya jauh, tidak hanya terbatas di perairan kepulauan, laut teritorial, dan ZEEI tetapi juga di Laut Lepas, maka Indonesia juga aktif dalam pengelolaan tuna secara bersama antar negara," paparnya.
Tangkapan Berkelanjutan, Nelayan Sejahtera
Apsek keberlanjutan juga ikut disoroti oleh kelompok nelayan. Salah satunya disampaikan Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan.
Menyoal tuna, Dani memberikan perhatian penting. Mengingat penangkapan ikan ini turut diatur dalam konsesi internasional. Termasuk kuota penangkapan di setiap negara-negaranya. Nelayan kecil, menurutnya menjadi salah satu garda terdepan dalam menangkap tuna.
"Menggunakan pancing atau apakah itu ya dengan alat yang sederhana, dan sudah pasti penggunaan alat yang sederhana itu ya itu merupakan satu metode penangkapan ikan tuna yang berkelanjutan," kata Dani saat berbincang dengan Liputan6.com.
Pada saat yang sama, dia melihat adanya kompetisi dalam penangkapan ikan. Nelayan kecil kerap bersaing dengan kapal-kapal penangkap ikan skala industri yang jauh lebih besar. Harapannya, ada regulasi yang mengatur, selain soal penangkapan berkelajutan, tapi juga melindungi nelayan kecil.
"Nah perlindungan terhadap nelayan-nelayan kecil, nelayan tradisional yang menangkap tuna dengan cara yang berkelanjutan, itu harus menjadi menurut saya orientasi dari pengelolaan tuna nasional. Toh dengan kondisi seperti ini saja sebenarnya, produksi tuna nasional kita kan luar biasa. Yang sebagian besar justru ditangkap oleh nelayan skala kecil," bebernya.
Dani menyampaikan, nelayan di Indonesia Timur banyak bergantung pada tangkapan tuna. Jikapun harus beralih ke komoditas lain, perlu ada upaya lebih besar yang dilakukan nelayan, termasuk biaya investasi yang perlu dikeluarkan.
Sementara itu, kata dia, jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan kecil turut berpengaruh pada tingkat kesejahteraan mereka. Nelayan penangkap ikan tuna dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan lebih baik, mengingat pasarnya yang tersedia.
"Kalau kita bandingkan antara tingkat kesejahteraan ya, nelayan tuna dengan nelayan yang lain, itu memang nelayan tuna relatif lebih sejahtera gitu secara kondisi sosial ekonomi," ungkapnya.
Sederet strategi yang disusun tadi diharapkan mampu mendongkrak cuan dari 'ikan penjelajah' itu di Indonesia. Tentunya, bukan sebatas bagi kas negara, tapi daya saing produk ke kancah global hingga kesejahteraan nelayan lokal pun jadi dampak terusan yang jadi perhatian. Hingga pada akhirnya, Indonesia akan berdaya dan nelayan bisa sejahtera dari tangkapan ikan tuna berkualitas global.
Advertisement