Indonesia Punya 400 Proyek Tekan Emisi Karbon, Tapi Butuh Dana Negara Maju

Menko Luhut membandingkan kontribusi emisi karbon Indonesia dan negara lainnya ke skala global. Sebagai contoh, tingkat emisi karbon Indonesia jauh lebih rendah ketimbang Amerika Serikat.

oleh Arief Rahman H diperbarui 05 Sep 2024, 15:50 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2024, 15:50 WIB
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam Indonesia International Sustainability Forum 2024, di JCC Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2024). (Arief/Liputan6.com)
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam Indonesia International Sustainability Forum 2024, di JCC Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2024). (Arief/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah menyiapkan 400 proyek untuk mengurangi tingkat emisi karbon. Namun, tantangannya, Indonesia membutuhkan bantuan pendanaan.

"Untuk mencapai target 2060 tanpa emisi, tetapi kami berusaha untuk mencapainya lebih awal dari 2060. Kami sudah memiliki 400 proyek yang sedang berjalan saat ini," kata Menko Luhut dalam Indonesia International Sustainability Forum 2024, di JCC Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2024).

Misalnya, ada rencana untuk menyetop operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, di Cirebon, Jawa Barat. Dia menegaskan ini memjadi langkah konkret yang bisa dilakukan Indonesia.

"Tetapi masalah yang terus kami bahas adalah tentang pembiayaan," tegasnya.

Dia mencoba membandingkan kontribusi emisi karbon Indonesia dan negara lainnya ke skala global. Sebagai contoh, tingkat emisi karbon Indonesia jauh lebih rendah ketimbang Amerika Serikat.

"Saya sudah menjelaskan hal ini kepada Profesor Yellen (Menteri Keuangan AS, Janet Yellen) selama G20, saya katakan Indonesia hanya 2,5 ton per kapita. Sementara AS sudah 14 hingga 15 ton per kapita, dan baseline-nya sekitar 4,5 ton per kapita. Jadi kita harus adil dalam melihat ini," tuturnya.

Menko Luhut menegaskan, bantuan pembiayaan itu penting bagi Indonesia melaksanakan sejumlah proyek pengurangan emisi karbon. Pasalnya, pada saat yang sama, Indonesia juga perlu menjaga tingkat pertumbuhan ekonominya tetap stabil.

"Jadi komitmen kita terhadap emisi nol sudah ada, tidak perlu dipertanyakan lagi. Tapi bagaimana kita melakukannya? Kita juga harus mempertahankan pertumbuhan ekonomi kita karena beban dasar harus ada. Tanpa beban dasar, itu dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi kita," bebernya.

Buka ISF 2024, Jokowi Sindir Investasi Negara Maju soal Perubahan Iklim

Presiden Joko Widodo membuka Indonesian International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta pada hari Kamis (5/9/2024). (Dok Kemenko Marves)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka Indonesian International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta pada hari Kamis (5/9/2024). (Dok Kemenko Marves)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganggap ancaman perubahan iklim sangat berbahaya. Sehingga transisi energi dan isu keberlanjutan jadi hal mendesak dan tak bisa dipinggirkan demi mengatasi perubahan iklim tersebut,

Jokowi lantas menganggap mitigasi perubahan iklim melalui transisi energi tak akan bisa tercapai jika negara dunia didorong dalam konteks ekonomi.

"Yang ingin saya tekankan, perubahan iklim tak akan pernah bisa terselesaikan selama dunia gunakan pendekatan ekonomi. Selama dunia hanya hitung keuntungan sendiri, pentingkan ego sentris sendiri-sendiri," kata Jokowi dalam sesi pembukaan Indonesia Internasional Sustainibility Forum (ISF) 2024 di Jakarta Convention Center, Kamis (5/9/2024).

Menurut dia, penyelesaiannya butuh pendekatan kolaboratif dan berprikemanusiaan. Sehingga terjadi kolaborasi positif antara negara maju dan berkembang.

"Dan, kemanusiaan agar prosesnya tidak mengorbankan rakyat kecil. Ekonomi hijau tidak hanya tentang lingkungan, tapi bagaimana menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi rakyat," tegas Jokowi.

Lebih lanjut, RI 1 menyampaikan, Indonesia memiliki potensi energi hijau besar, lebih dari 3.600 gw. Indonesia juga disebutnya memiliki PLTS Apung di Waduk Cirata dengan kapasitas 192 MW, terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ketiga di dunia.

Di sisi lain, ia melanjutkan, Indonesia juga memiliki potensi besar dalam penyerapan karbon. Dengan adanya kawasan hutan mangrove terbesar di dunia seluas 3,3 juta ha.

"Itu mampu menyerap karbon 8-12 kali lebih baik dibanding hutan hujan tropis, yang banyak orang tidak tahu," ujar Jokowi.

Singgung Investasi Negara Maju

Namun, Jokowi menekankan bahwa semua itu tak akan berarti selama negara maju ogah menanamkan investasinya.

"Semua tidak akan memberikan pendekatan signifikan, selama negara maju tidak berani berinvestasi. Selama riset dan teknologi tidak dibuka secara luas, dan selama pendanaan tidak diberikan dalam skema yang meringankan negara berkembang. Tiga hal itu penting untuk jadi catatan kita semua," ungkapnya.

"Indonesia sangat terbuka bermitra dengan siapapun, untuk maksimalkan akses energi hijau lebih berkeadilan. Saya harap forum ISF ini dapat menjadi tempat bertemunya pengetahuan, pengalaman, sumber daya yang dapat jadi modal bersama kolaborasi hadapi tantangan iklim yang ada," pungkas Jokowi.

  

INFOGRAFIS JOURNAL_ Eksploitasi Alam dan Polusi Udara Berdampak pada Krisis Iklim?
INFOGRAFIS JOURNAL_ Eksploitasi Alam dan Polusi Udara Berdampak pada Krisis Iklim? (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya