Siap-Siap, Harga Rumah Naik 5% Akibat PPN Naik Jadi 12%

Memang kenaikan PPN hanya 1 persen, dari sebelumnya 11 persen menjadi 12 persen. Namun, kenaikan ini akan memberikan efek berganda (multiplier effect), khususnya ke sektor perumahan.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 28 Nov 2024, 20:10 WIB
Diterbitkan 28 Nov 2024, 20:10 WIB
20160908-Properti-Jakarta-AY
Sebuah maket perumahan di tampilkan di pameran properti di Jakarta, Kamis (8/9). Penurunan DP KPR rumah kedua dan ketiga juga turun masing-masing menjadi 20% dan 25%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 bakal turut berdampak terhadap harga pembelian atau sewa rumah dan apartemen.

Hal itu dikonfirmasi oleh Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Bambang Ekajaya. Ia menyebut lonjakan harga rumah dan apartemen bakal lebih tinggi dibandingkan kenaikan PPN.

"Tentu setiap lini bisnis berbeda-beda (untuk kenaikan PPN jadi 12 persen). Untuk property prediksi saya bisa berkisar 3-5 persen," ujar Bambang kepada Liputan6.com, Kamis (28/11/2024).

Memang, kenaikan PPN 2025 hanya 1 persen, dari sebelumnya 11 persen menjadi 12 persen. Namun, Bambang khawatir itu akan memberikan efek berganda (multiplier effect), khususnya ke sektor perumahan.

"Building material pasti naik, bsa transport naik, tenaga kerja untuk bangun akan naik juga. Harga juga ujung-ujungnya naik. Ditambah PPN 12 persen, pasti harga rumah naiknya bukan 1 persen," terangnya.

"Tentunya ini akan memberatkan calon-calon konsumen yang saat ini melemah daya belinya," dia menambahkan.

Pasalnya, lonjakan PPN ini berlaku untuk semua transaksi, mulai dari makanan dan minuman, pakaian, apartemen, ruko, hingga sewa hunian. Terutama bagi pengusaha kena pajak (PKP).

"Kalau untuk sewa impact-nya lebih simpel, karena hanya dari nilai sewa saja komponennya," pungkas Bambang.

PPN 12% Diprediksi Tambah Penerimaan Negara Rp 75 Triliun

Penerimaan Pajak 2022 Capai Target
Petugas melayani wajib pajak di salah satu kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta, Kamis (29/12/2022). Penerimaan pajak tercatat melampaui target 2022 meskipun tanpa pelaksanaan program pengungkapan sukarela atau PPS dan kenaikan tarif pertambahan nilai atau PPN menjadi 11%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun depan diproyeksikan mampu menambah penerimaan negara hingga Rp75 triliun. Angka tersebut setara dengan kenaikan sekitar 15% dari prakiraan realisasi PPN pada tahun 2024.

Namun, Senior Economist Bright Institute, Awalil Rizky, menyatakan bahwa capaian tersebut kemungkinan belum cukup untuk memenuhi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Berdasarkan proyeksi, penerimaan PPN harus tumbuh setidaknya 23,93 persen untuk mencapai target tersebut.

“Peningkatan PPN 12% sangat berpotensi menurunkan aktivitas ekonomi, sehingga tambahan Rp75 triliun itu mungkin sulit tercapai,” ujar Awalil dalam sebuah webinar yang digelar Rabu (27/11/2024).

Bright Institute memprakirakan realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) pada tahun 2024 hanya mencapai Rp1.060 triliun atau 93 persen dari target APBN.

Sementara itu, penerimaan dari PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) diperkirakan mencapai Rp763 triliun atau 94 persen dari target.

Secara keseluruhan, penerimaan pajak pada tahun 2024 diprediksi hanya tumbuh 1,33 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini jauh di bawah target pemerintah yang sebelumnya dipatok pada 3,0 persen dalam outlook Nota Keuangan 2025 dan 9,0 persen dalam target awal APBN 2024.

Tantangan APBN 2025

Awalil menjelaskan bahwa untuk mencapai target penerimaan pajak dalam APBN 2025, pemerintah harus meningkatkan penerimaan perpajakan sebesar 11,48 persen pada tahun depan. Hal ini dinilai sulit dicapai tanpa kebijakan kenaikan pajak yang signifikan.

“Kebutuhan dana tahun 2025 akan jauh lebih sulit dari perkiraan pemerintah sebelumnya, yang sebenarnya sudah pesimis dibanding target awal APBN 2024 yang sangat optimis,” kata Awalil.

Ia juga menyoroti bahwa pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto memiliki rencana belanja yang jauh lebih besar melalui program-program baru, sehingga tekanan untuk meningkatkan pendapatan negara menjadi lebih tinggi.

Menurut Awalil, kebijakan menaikkan PPN dan pemberlakuan kembali tax amnesty yang baru dilakukan dua tahun lalu mencerminkan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan di tengah situasi yang mendesak.

“Keadaan ini menunjukkan pemerintah terdesak untuk menaikkan pendapatan, dan kenaikan PPN menjadi salah satu solusi utama meskipun dampaknya pada ekonomi dapat menjadi kontraproduktif,” jelasnya.

  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya