Liputan6.com, Jakarta Pemerintah secara resmi akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada Januari 2025. Namun, kenaikan PPN sebesar 1 persen untuk tiga komoditas tertentu akan ditanggung oleh pemerintah. Dengan demikian, saat PPN 12 persen mulai berlaku, ketiga komoditas ini tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11 persen.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan bahwa tiga komoditas tersebut meliputi tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng rakyat (Minyakita).
Baca Juga
Sri Mulyani menambahkan bahwa barang-barang ini, sesuai peraturan perundangan, seharusnya dikenakan tarif PPN sebesar 12 persen. Namun, mengingat pentingnya komoditas ini bagi masyarakat luas, pemerintah memutuskan untuk menanggung selisih kenaikan sebesar 1 persen. Hal ini dilakukan agar harga barang tetap stabil dan tidak membebani masyarakat.
Advertisement
“Barang-barang seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyakita akan dikenakan PPN sebesar 11 persen. Artinya, dari kenaikan tarif menjadi 12 persen, selisih 1 persennya akan ditanggung oleh pemerintah,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers terkait Paket Kebijakan Ekonomi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Komitmen Pemerintah dalam Kebijakan Fiskal Pro Rakyat
Sri Mulyani menegaskan bahwa keputusan ini adalah wujud komitmen pemerintah untuk menyediakan instrumen fiskal yang berpihak kepada masyarakat.
Selain itu, untuk kebutuhan komoditas pokok seperti beras, jagung, kedelai, daging, gula konsumsi, susu segar, kacang-kacangan, unggas, dan hasil-hasil perikanan serta kelautan, pemerintah tetap memberikan pembebasan PPN. Total nilai PPN yang dibebaskan untuk sektor bahan makanan mencapai Rp 77,1 triliun.
Alasan Sri Mulyani Tetap Naikkan PPN 12 Persen per 1 Januari 2025
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan keputusan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 telah dipertimbangkan secara bertahap dan matang. Kebijakan PPN 12 persen sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Undang-Undang HPP, yang disahkan pada 29 September 2021, tidak hanya mengatur peraturan perpajakan, tetapi juga mencakup kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Salah satunya adalah melalui penyesuaian tarif PPN secara bertahap.
Kenaikan tarif PPN sebelumnya, dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, dirancang untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi. Begitu pula dengan kenaikan berikutnya dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
“Waktu itu, bahkan setelah pandemi, kita menaikkan tarif dari 10 persen ke 11 persen pada 1 April 2022. Kemudian DPR memutuskan penundaan kenaikan berikutnya hingga 1 Januari 2025. Hal ini memberi masyarakat waktu untuk pulih dengan memadai,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Kebijakan Pro Rakyat dalam Undang-Undang HPP
Menkeu menegaskan bahwa dalam pembahasan Undang-Undang HPP, pemerintah tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Melalui undang-undang ini, pemerintah memberikan fasilitas berupa pembebasan atau pengurangan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat. Hal ini meliputi sektor pangan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan jasa sosial lainnya. Tujuannya adalah untuk meringankan beban masyarakat dan memastikan akses yang lebih adil terhadap barang dan jasa esensial.
“Hampir seluruh fraksi setuju bahwa negara harus menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Keberpihakan ini diwujudkan melalui fasilitas PPN untuk barang kebutuhan pokok, baik berupa barang maupun jasa yang dikonsumsi masyarakat luas,” kata Sri Mulyani.
Advertisement
Detail dan Pertimbangan Matang
Sri Mulyani menambahkan bahwa selama proses pembahasan Undang-Undang HPP, semua kebutuhan masyarakat telah dipertimbangkan secara rinci dan mendalam.
“Jadi, saat membahas Undang-Undang HPP, kami benar-benar memikirkan secara detail kebutuhan masyarakat dan situasi yang ada,” tutupnya.