Liputan6.com, Jakarta Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi PPN 12% per 1 Januari 2025 memicu reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat.
Presiden Prabowo Subianto kini dihadapkan pada tekanan besar untuk merespons isu yang dianggap dapat memperberat beban ekonomi rakyat.
Advertisement
Baca Juga
Opsi untuk Membatalkan Kenaikan Tarif PPN
Salah satu langkah yang dapat ditempuh Presiden adalah menggunakan kewenangannya untuk mengajukan pembatalan kenaikan tarif tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Advertisement
Pemerintah memiliki ruang untuk mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Penyesuaian jika ada perubahan kebijakan fiskal.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengusulkan agar Presiden Prabowo mempertimbangkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menunda kenaikan tarif ini. Menurutnya, langkah ini tidak hanya legal tetapi juga realistis, mengingat kondisi ekonomi saat ini yang masih lesu.
“Ini soal kemauan politik. Penerbitan Perppu memungkinkan pemerintah menunda kebijakan tersebut karena daya beli masyarakat belum pulih. Jika dipaksakan, kenaikan PPN justru bisa memperlambat pemulihan ekonomi,” jelas Esther kepada wartawan, ditulis Kamis (26/12/2024).
Kapan Kenaikan Tarif PPN Ideal Dilakukan?
Esther menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN sebaiknya dilakukan ketika daya beli masyarakat telah stabil dan ekonomi nasional menunjukkan pemulihan yang signifikan. Jika tidak, kebijakan ini berisiko mengganggu pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
“Presiden punya peran besar untuk memutuskan apakah kenaikan ini perlu ditunda. Saya kira, jika ekonomi belum benar-benar pulih, kebijakan ini sebaiknya ditunda hingga situasi lebih kondusif,” tambahnya.
Harus Belajar dari Malaysia
Esther juga mengingatkan pemerintah untuk belajar dari pengalaman Malaysia. Negara tersebut pernah menaikkan tarif PPN, tetapi kebijakan itu berdampak buruk pada perekonomian, termasuk penurunan volume ekspor. Akhirnya, Malaysia memutuskan untuk menurunkan kembali tarif PPN guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Kasus Malaysia menjadi pelajaran penting. Kenaikan tarif pajak tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi bisa berakibat fatal. Pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil langkah ini,” ujar Esther.
Landasan Hukum dan Mekanisme Kenaikan Tarif PPN
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% telah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPN dalam rentang 5% hingga 15%. Setelah RAPBN disetujui DPR menjadi UU APBN 2025, pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengesahkan tarif tersebut.
Namun, jika Presiden Prabowo memutuskan untuk menunda kenaikan tarif ini, mekanisme penyesuaian dapat dilakukan melalui revisi UU APBN dengan persetujuan DPR.
Advertisement
Dampak Kenaikan Tarif PPN terhadap Ekonomi
Peningkatan tarif PPN dikhawatirkan akan menambah tekanan terhadap masyarakat yang daya belinya masih rendah.
Selain itu, kenaikan ini juga dapat memengaruhi sektor bisnis, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Sebagai pemimpin, Presiden Prabowo memiliki tanggung jawab besar untuk menyeimbangkan kebutuhan penerimaan negara dengan kondisi ekonomi rakyat.
Langkah bijak dan cepat diperlukan untuk memastikan kebijakan ini tidak menjadi bumerang bagi pemulihan ekonomi Indonesia.
Dengan segala opsi yang tersedia, bola panas kenaikan tarif PPN kini berada di tangan Presiden. Keputusan yang diambil akan menjadi penentu arah kebijakan ekonomi nasional pada tahun-tahun mendatang.