Liputan6.com, Jakarta Miliarder sekaligus investor legendaris asal Amerika Serikat, Warren Buffett melontarkan komentarnya terkait tarif impor yang diberlakukan pemerintahan Presiden Donald Trump.
Melansir CNN Business, Selasa (4/3/2025) Buffett mengaku ia memiliki beberapa pengalaman pada bisnisnya ketika perang dagang dipicu oleh tarif impor AS.
Baca Juga
"Tarif sebenarnya, kami memiliki banyak pengalaman dengan tarif. Tarif merupakan tindakan perang, sampai taraf tertentu," ujar Buffett dalam sebuah wawancara dengan kantor media CBS.
Advertisement
Pasalnya, Buffett melihat, tarif mengganggu perdagangan antarnegara dengan menaikkan pajak atas barang impor, dan biaya baru tersebut sering dibebankan kepada konsumen melalui harga yang lebih tinggi.
Tarif dianggap oleh banyak ekonom sebagai pentungan politik — terkadang digunakan dalam perang dagang — dan bukan kerangka kerja yang efisien untuk perdagangan internasional.
"(Setelah tarif) lalu apa? ketika berpikir tentang implikasi tarif dan siapa yang akan menanggung biayanya. Anda harus selalu mengajukan pertanyaan itu dalam ekonomi: Selalu katakan, 'Lalu apa?," kata Buffett.
Tak Mendukung Kebijakan Trump
Buffett tidak menjelaskan lebih lanjut terhadap gagasannya tersebut. Namun, sang miliarder diketahui tidak menjadi pendukung kebijakan tersebut.
Pada tahun 2016, ia mengatakan usulan tarif Trump selama kampanye pilpres AS adalah "ide yang sangat buruk."
Seperti diketahui, Trump melanjutkan tarif pada mitra dagang terbesar AS dengan mengenakan tarif sebesar 25% pada barang dari Kanada dan Meksiko.
Presiden AS yang kini memasuki periode kedua itu juga menaikkan tarif impor pada China dari semula 10% menjadi 20%.
Jepang dan Negara G20 Ingatkan Ketidakpastian Ekonomi Imbas Tarif Impor Donald Trump
Diwartakan sebelumnya, Gubernur bank sentral Jepang, Bank of Japan (BOJ) Kazuo Ueda mengingatkan risiko dari ketidakpastian pada prospek ekonomi global menyusul kebijakan tarif impor yang dicanangkan Presiden AS Donald Trump.
Ueda menyebut, banyak negara anggota G20 yang tampaknya berpandangan ada ketidakpastian tentang bagaimana kebijakan tarif AS dapat berlangsung, dan bagaimana langkah-langkah tersebut dapat memengaruhi ekonomi mereka.
"Ada ketidakpastian yang sangat kuat pada prospek kebijakan AS, termasuk tarif, dan bagaimana negara-negara lain dapat menanggapinya. Karena itu, kita perlu meneliti perkembangannya," kata Ueda dalam konferensi pers setelah pertemuan pejabat keuangan G20, dikutip dari Channel News Asia.
"Kita kemudian perlu mengambil pandangan yang komprehensif tentang bagaimana (kebijakan AS) memengaruhi ekonomi global, pasar keuangan, dan prospek ekonomi dan harga Jepang" dalam menetapkan kebijakan moneter," jelasnya.
Disebutkan, perkembangan ekonomi Jepang mendukung BOJ untuk menaikkan suku bunga jangka pendeknya lebih jauh dari level 0,5 persen saat ini.
Meningkatnya taruhan pasar terhadap kenaikan suku bunga BOJ dalam waktu dekat telah membantu mendorong Yen, menawarkan sedikit kelegaan bagi para pembuat kebijakan Jepang yang khawatir tentang rasa sakit yang ditimbulkan oleh pelemahan mata uang tersebut pada rumah tangga dan pengecer melalui kenaikan biaya impor.
BOJ sendiri telag mengakhiri stimulus besar-besaran selama satu dekade pada 2024 dan menaikkan suku bunga jangka pendeknya menjadi 0,5 persen dari 0,25 persen pada Januari 2025.
Bank sentral menilai, Jepang berada di ambang pencapaian target inflasi 2 persen secara berkelanjutan.
Para pembuat kebijakan BOJ juga telah mengisyaratkan kesiapan untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut jika Jepang terus membuat kemajuan dalam mencapai target inflasi 2 persen secara berkelanjutan.
Advertisement
Negara Ini Pangkas Proyeksi Ekonomi Imbas Tarif Impor Trump
Ekonomi Taiwan diperkirakan akan tumbuh lebih lambat pada tahun 2025, akibat turbulensi dari tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, serta pemotongan anggaran yang diberlakukan parlemen.
"Pemerintahan Trump telah mengumumkan tarif yang luas yang memengaruhi momentum perdagangan global dan mendorong tekanan inflasi, serta mengintensifkan ketidakpastian ekonomi," kata Direktorat Jenderal Anggaran, Akuntansi, dan Statistik Taiwan dalam keterangannya, dikutip dari US News.
Taiwan diyakini akan melihat tekanan pada ekonomi karena ekspornya akan terpengaruh oleh tarif impor mulai kuartal ketiga atau keempat 2025.
Produk domestik bruto Taiwan tahun ini diperkirakan akan mencapai 3,14%, kata badan tersebut, revisi turun dari perkiraan 3,29% yang dikeluarkan pada November 2024 lalu.
Angka tersebut juga lebih rendah dari tingkat pertumbuhan 4,59% untuk tahun 2024.
Badan statistik Taiwan juga mengatakan pemotongan anggaran yang diberlakukan oleh parlemen akan mengurangi pertumbuhan ekonomi tahun ini mengingat lebih sedikit investasi dan pengeluaran pemerintah.
Namun, ekspor Taiwan tahun ini diperkirakan tumbuh 7,08%, naik dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,98%.
Selain itu, Badan statistik Taiwan juga menaikkan perkiraan indeks harga konsumen (CPI) 2025 menjadi 1,94% dari 1,93%.
Sebagai informasi, Taiwan merupakan mata rantai utama dalam rantai pasokan teknologi global untuk perusahaan-perusahaan seperti Apple Inc dan Nvidia.
Kota tersebut juga merupakan pusat bagi pembuat chip kontrak terbesar di dunia, Taiwan Semiconductor Manufacturing Co Ltd (TSMC). Presiden AS Donald Trump telah mengajukan usulan tarif minimum 25% untuk chip.
Taiwan telah menanggapi tarif tersebut dengan pendekatan diplomatik dan berencana untuk membahas investasi chip di Amerika Serikat, yang dikenal sebagai tujuan ekspor terbesar kedua Taiwan setelah China.
