PT PLN (Persero) khawatir dengan cadangan minyak nasional yang diperkirakan habis dalam 12 tahun mendatang atau pada 2025. Saat ini, perusahaan energi pelat merah ini mengaku masih menggantungkan pasokan bahan bakar minyak (BBM) untuk menghidupkan 23% pembangkit listriknya.
Melihat kondisi tersebut, PLN mengaku perlu ada langkah antisipasi khusus yang dilakukan agar kebutuhan listrik bagi masyarakat masih dapat terus diberikan.
Kekhawatiran ini disampaikan Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PLN Mochamad Sofyan ketika ditemui dalam bincang-bincang bersama wartawan di Gedung PLN Pusat, Jakarta, Kamis (19/9/2013). "Perlu diingat, kebutuhan minyak kita di tahun 2025 akan habis, maka harus ada langkah dan antisipasi agar kebutuhan listrik masih bisa terpenuhi," ujarnya.
Data PLN menunjukan, hampir 88% pembangkit listrik milik PLN masih menggunakan energi yang tidak terbarukan (fosil). Dari porsi tersebut, 44% diantaranya masih menggunakan batubara, 23% BBM, 21% gas, dan 3,5% energi terbarukan.
Diakui Sofyan, dari semula awalnya Indonesia memang tidak pernah berpikir membangun pembangkit listrik menggunakan energi terbarukan. Akibatnya, Indonesia bernasib hampir sama dengan Filipina dan Jepang yang tidak mempunyai energi terbarukan.
"Kalau kita bicara Jepang dan Filipina sangat berbeda. Jepang itu punya uang banyak, namun Filipina jauh beda dengan Jepang. Mereka keduanya juga tidak memiliki minyak, gas dan batubara. Oleh karena itu, disana listrik sangatlah mahal," tegasnya.
Sofyan mengungkapkan, tarif listrik termahal di kawasan Asia saat ini masih dipegang Filipina, diikuti Singapura dan Jepang.
Guna mengatasi minimnya pasokan BBM, PLN mengaku sudah memiliki rencana penggunaan energi terbarukan hingga 2021. Dalam rentang tersebut, PLN berharap bisa menggunakan energi terbarukan dari saat ini 3,5% menjadi 20%. "Masalah energi terbarukan ini harus difokuskan, namun targetnya memang sulit, tapi harus dikerjakan," tegasnya. (Dis/Shd)
Melihat kondisi tersebut, PLN mengaku perlu ada langkah antisipasi khusus yang dilakukan agar kebutuhan listrik bagi masyarakat masih dapat terus diberikan.
Kekhawatiran ini disampaikan Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PLN Mochamad Sofyan ketika ditemui dalam bincang-bincang bersama wartawan di Gedung PLN Pusat, Jakarta, Kamis (19/9/2013). "Perlu diingat, kebutuhan minyak kita di tahun 2025 akan habis, maka harus ada langkah dan antisipasi agar kebutuhan listrik masih bisa terpenuhi," ujarnya.
Data PLN menunjukan, hampir 88% pembangkit listrik milik PLN masih menggunakan energi yang tidak terbarukan (fosil). Dari porsi tersebut, 44% diantaranya masih menggunakan batubara, 23% BBM, 21% gas, dan 3,5% energi terbarukan.
Diakui Sofyan, dari semula awalnya Indonesia memang tidak pernah berpikir membangun pembangkit listrik menggunakan energi terbarukan. Akibatnya, Indonesia bernasib hampir sama dengan Filipina dan Jepang yang tidak mempunyai energi terbarukan.
"Kalau kita bicara Jepang dan Filipina sangat berbeda. Jepang itu punya uang banyak, namun Filipina jauh beda dengan Jepang. Mereka keduanya juga tidak memiliki minyak, gas dan batubara. Oleh karena itu, disana listrik sangatlah mahal," tegasnya.
Sofyan mengungkapkan, tarif listrik termahal di kawasan Asia saat ini masih dipegang Filipina, diikuti Singapura dan Jepang.
Guna mengatasi minimnya pasokan BBM, PLN mengaku sudah memiliki rencana penggunaan energi terbarukan hingga 2021. Dalam rentang tersebut, PLN berharap bisa menggunakan energi terbarukan dari saat ini 3,5% menjadi 20%. "Masalah energi terbarukan ini harus difokuskan, namun targetnya memang sulit, tapi harus dikerjakan," tegasnya. (Dis/Shd)