Pengusaha Keberatan Tarif Listrik Naik Bertahap 8 Bulan

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi mengatakan tahapan kenaikan tarif listrik ini seharusnya bukan hanya 8 bulan.

oleh Septian Deny diperbarui 24 Jan 2014, 21:16 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2014, 21:16 WIB
sofjan-wanandi-130824b.jpg

Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR telah menyepakati untuk mencabut subsidi listrik untuk industri golongan I3 dan I4. Kenaikan ini rencananya dilakukan secara bertahap mulai Mei hingga Desember 2014. Namun hal ini dinilai masih memberatkan para pengusaha dan pelaku industri khususnya sektor manufaktur.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofjan Wanandi mengatakan tahapan kenaikan tarif listrik ini seharusnya bukan hanya 8 bulan tetapi paling tidak selama 2 tahun.

"Ini yang saya keluhkan, naiknya bertahap mulai Mei sampai Desember. Harusnya bertahap paling tidak 2 tahun, sehingga pengusaha bisa hitung biaya ke depan," ujarnya di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Jumat (24/1/2014).

Dia juga mengeluhkan kenaikan tarif listrik untuk industri golongan I4 yang dinilai sangat besar mencapai 64,7% dalam waktu kurang dari 1 tahun. "Bertahapnya misal tahun ini 25%, yang untuk Tbk naik 15% misalnya. Karena pengaruh ke biaya mencapai 15-20%, jadi harus naikan segitu, malah harus naik sampai 40%," lanjutnya.

Menurut dia, dampak yang lebih luas lagi dari kenaikan tarif listrik ini akan berimbas pada neraca perdagangan yang semakin tertekan. Hal ini karena kenaikan listrik akan memicu kenaikan harga produk didalam negeri sehingga membuat konsumen lebih memilih barang impor dengan harga yang lebih murah.

"Defisit neraca perdagangan makin banyak karena kita impor terus, apalagi sudah ada perdagangan bebas dengan China. Kita tidak bisa bersaing karena produk luar lebih murah," katanya.

Selain itu, kenaikan tersebut dinilai merusak iklim investasi di Indonesia sehingga membuat perusahaan-perusahaan memilih hengkang dan perusahaan yang yang hendak berinvestasi menjadi enggan menanamkan modalnya di Indonesia.

"Tidak ada yang mau ekspansi dan ada yang mau tutup, sekitar empat perusahaan seperti petrokimia, baja, semen. Lalu yang sudah go publik naik dan perusahaan yang sama jenisnya tapi tidak go publik tidak dikenakan. Jadi mereka diuntungkan 38% tidak naik, nanti mereka tidak ada yang mau go public, ini merusak iklim investasi," tandasnya. (Dny/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya