London - Liga Inggris telah berjalan selama 28 musim sejak kali pertama bergulir pada 1992-1993, di mana Manchester United (MU) menjadi juara pada musim perdana. Tetapi, setiap tim yang tampil di Liga Inggris, termasuk MUÂ pernah mengalami masa-masa yang buruk.
Hingga kini, Liga Inggris telah berkembang menjadi sebuah kompetisi sepak bola yang bergengsi, kompetitif, dan menarik minat banyak pemain dari seluruh dunia untuk berkiprah di sana.
Baca Juga
Jika bertanya kepada setiap orang mengenai klub besar dan hebat di Liga Inggris, jawabannya akan cukup beragam. Tidak seperti ketika bertanya hal yang sama di La Liga Spanyol atau Ligue 1 Prancis. Orang-orang akan menjawab MU, Arsenal, Liverpool, Chelsea, Tottenham Hotspur, dan Manchester City.
Advertisement
Namun, yang menarik. Sepanjang 27 musim yang sudah terlewati, hanya ada enam tim yang sukses menjuarai Liga Inggris. MU menjadi yang paling sukses dengan 13 gelar juara, diikuti Chelsea lima trofi juara, Manchester City empat trofi, dan Arsenal tiga trofi. Dua trofi lain masing-masing menjadi Blackburn Rovers dan Leicester City.
Namun, dari tim-tim yang berhasil menjadi juara tersebut, mereka pernah merasakan momen-momen keterpurukan. Begitu banyak hal menjadi penyebab, termasuk kehadiran seorang manajer yang tidak mampu menerapkan strategi yang membuahkan kemenangan bagi timnya.
Ada begitu banyak manajer di Liga Inggris yang gagal mempersembahkan hasil positif bagi timnya. Daily Mail merangkum manajer dengan persentase kemenangan terburuk dari semua klub yang pernah tampil di Liga Inggris, lima di antaranya gagal mempertahankan kebesaran timnya.
Â
George Graham (Arsenal)
Persentase kemenangan: 36,61
George Graham adalah nama yang cukup diingat, di mana ia menghabiskan 15 tahun dalam dua periode sukses bersama Arsenal sebagai pemain maupun manajer. Graham berhasil mendapatkan dua gelar juara liga, dua Piala Liga, sebuah trofi Piala FA, dan Piala Winners untuk Arsenal.
George Graham adalah manajer Arsenal pada musim-musim awal Premier League, tepat sebelum Arsene Wenger datang dan menjadi manajer legendaris The Gunners. Graham tercatat menangani The Gunners selama tiga musim pertama era Premier League.
Penyebab Graham meninggalkan Arsenal adalah karena dipecat setelah menerima uang dalam sebuah kesepakatan transfer ilegal pada 1995. Graham menerima 400 ribu pound dari agen asal Norwegia, Rune Hauge, untuk mendatangkan Pal Lydersen dan John Jensen.
Bukan hanya melanggar aturan saat tengah menjadi manajer Arsenal, ia juga kesulitan untuk mempertahankan konsistensi dalam era-era terakhirnya di Highbury. Graham hanya mencatatkan 36,61 persen kemenangan dari 112 pertandingan. Rinciannya, Arsenal meraih 41 kemenangan, 38 hasil imbang, dan 33 kekalahan di era Premier League saat itu.
Banyak yang mengatakan, Graham mungkin adalah anomali yang memperlihatkan bahwa seorang manajer tak selalu dinilai hanya dari statistiknya, mengingat masih banyak yang menghormatinya sebagai satu dari beberapa manajer paling sukses yang pernah ada di Arsenal. Sayang, dua gelar juara untuk The Gunners diraihnya pada 1989 dan 1991, sebelum era Premier League.
Â
Advertisement
Ian Porterfield (Chelsea)
Persentase kemenangan 31,03
Ian Porterfield dikenal sebagai manajer pertama yang mengalami pemecatan dalam era Premier League setelah harus meninggalkan Chelsea pada 1993 karena 12 pertandingan tanpa kemenangan setelah Natal.
Padahal pada musim tersebut, ia memulai musim dengan membuat Chelsea tampak bakal menjadi kandidat juara Premier League musim perdana. Namun, semua berubah setelah Natal 2012.
Porterfield dipecat pada 15 Februari setelah melewati 12 pertandingan tanpa satu pun kemenangan, membuat presentase kesuksesannya hanya 31,03 selama berada di Stamford Bridge.
Andre Villas- Boas, Luiz Felipe Scolari, dan Avram Grant akan senang karena rekor Porterfield tetap terjaga dan menjauhkan mereka dari predikat manajer terburuk The Blues dalam era Premier League.
Â
Roy Evans dan Gerard Houllier (Liverpool)
Persentase kemenangan: 33,33
Gerard Houllier bergabung bersama Liverpool pada musim pada 1998 dalam sebuah eksperimen joint manager bersama Roy Evans, yang memegang penuh kendali sejak 1994. Setelah finis di peringkat ketiga dalam musim sebelumnya dan kemudian dengan adanya dua otak, The Reds diharapkan menjadi menjadi penantang serius untuk gelar juara.
Namun, hal tersebut hanya berjalan selama tiga bulan, di mana Liverpool terpuruk karena performa buruk di liga dan tersingkir dari Piala Liga. Ini menjadi yang terakhir bagi Evans, yang langsung mundur setelah kekalahan 1-3 di Anfield.
Bersama Houllier, Liverpool kemudian tersingkir dari Piala UEFA dan Piala FA lebih awal dari yang diharapkan. Bahkan mereka finis di peringkat ketujuh dalam klasemen akhir Premier League.
Persentase kemenangan sebesar 33,33 itu cukup mengejutkan untuk klub seperti Liverpool yang sebelumnya mampu meraih kesuksesan pada era 1970an dan 1980an. Artinya, tidak mampu meraih kemenangan lebih dari empat kali dalam 12 laga pertama Premier League dan finis lebih tinggi dari posisi ketujuh di klasemen adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.
Namun, Houllier kemudian berhasil menorehkan prestasi yang sedikit lebih baik ketika menjadi satu-satunya manajer Liverpool hingga 2004. Ia membawa The Reds meraih tiga gelar juara pada 2001, yaitu Piala FA, Piala Liga Inggris, dan Piala UEFA.
Â
Advertisement
Joe Royle (Manchester City)
Persentase kemenangan: 21,05
Ini merupakan cerita ketika Manchester City belum menjadi sebuah klub kaya seperti dalam satu dekade terakhir.
Keberadaan Joe Royle sebagai manajer Manchester City adalah sesuatu yang menguras emosi karena pasang surut yang berakhir dengan perdebatan hukum. Royle secara hukum menuntut klub untuk pembayaran setelah direksi Manchester City memecatnya karena dianggap tidak berkompeten.
Setelah awalnya membantu Manchester City mendapatkan promosi ke Premier League pada 2001, tim asuhan Royle terus menerus gagal memperlihatkan performa terbaik. Manchester City pun kembali terdegradasi setelah hanya satu musim di kasta tertinggi Inggris.
Â
Ole Gunnar Solskjaer (Manchester United)
Persentase kemenangan: 48
Memang menjadi sebuah tugas berat bagi siapapun untuk bisa membawa Manchester United kembali meraih kesuksesan seperti di era Sir Alex Ferguson, mulai dari David Moyes, Louis van Gaal, dan Jose Mourinho.
Namun, Ole Gunnar Solskjaer merasakan penderitaan paling besar ketika sudah menjadi manajer Manchester United. Ia memang mewarisi skuat yang tengah terpuruk, dengan sejumlah pemain penting yang tengah mengalami cedera.
Padahal performa Manchester United menjadi sedikit lebih baik ketika Solskjaer baru menjadi manajer caretaker. Namun, ketika dirinya dipermanen, situasi seakan menjadi 180 derajat berbalik.
Manchester United bahkan gagal meraih 40 poin setelah 24 pertandingan, di mana itu menjadi yang pertama kalinya bagi The Red Devils sejak Premier League dimulai pada 1992-1993.
Meski Solskjaer mampu meningkatkan kembali kredibilitasnya pada musim ini dengan skuat yang muda dan tim yang berkembang, rekor kemenangan manajer berusia 47 tahun ini masih menjadi yang terburuk ketimbang manajer lain dalam sejarah Manchester United.
Sumber: Daily Mail
Disadur dari Bola.com (Penulis / Editor Benediktus Gerendo Pradigdo, Published 7/6/2020)
Advertisement