Bola Ganjil: Momen Indah Tahiti di Negeri Samba

Simak kisah Tahiti, negara dengan latar belakang sepak bola minim, ketika mengikuti Piala Konfederasi 2013.

oleh Harley Ikhsan diperbarui 19 Des 2020, 00:36 WIB
Diterbitkan 19 Des 2020, 00:30 WIB
Tahiti
Pendukung Tahiti di Piala Konfederasi 2013. (AFP/Eitan Abramovich)

Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 99 persen pemain sepak bola adalah amatir dan hanya satu persen profesional. Mempertimbangkan fakta itu, muncul pertanyaan besar.

Mengapa negara yang hanya memiliki belasan ribu pemain terdaftar dan kompetisi dengan klub mayoritas semiprofesional tidak boleh ikut ikut berpartisipasi di pesta sepak bola?

Pola pikir itulah yang mendasari Tahiti ketika mengikuti Piala Konfederasi 2013 di Brasil. Meski datang dari latar belakang berbeda, mereka tidak sungkan saat berpartisipasi. 

Tahiti merupakan wakil Oceania pertama selain Australia dan Selandia baru yang lolos ke turnamen juara antarbenua tersebut.

Partisipasi mereka membuat kompetisi tujuh tahun lalu memiliki sisi romantis berkat kehadiran negara kecil di turnamen besar. Sama seperti partisipasi Zaire dan Haiti di Piala Dunia 1974, atau tampilnya Trinidad & Tobago, Jamaika, Bosnia-Herzegovina, dan Kuwait pada edisi-edisi lain.

FIFA pun ikut gembira. Mereka selalu berusaha meningkatkan pengaruh di luar dua kiblat utama Eropa dan Amerika Selatan. Sebab sepak bola milik siapa saja.

Saksikan Video Tahiti Berikut Ini

Partisipasi Bersejarah

Tahiti
Rombongan Tahiti tiba di Brasil untuk mengikuti Piala Konfederasi 2013. (AFP/Douglas Mano)

Dengan Australia sudah pindah dan berkompetisi di Asia agar kualitas meningkat, Selandia Baru jadi kekuatan utama pada zona Oceania. Namun, meski tidak terkalahkan pada Piala Dunia 2010, mereka menjalani mimpi buruk di Piala Oceania 2012.

Pada turnamen di Kepulauan Solomon, Selandia Baru dikejutkan permainan cepat Kaledonia Baru sehingga takluk 0-2 di semifinal.

Tahiti memanfaatkan keterpurukan sang favorit. Mereka membungkam Kaledonia Baru berkat gol tunggal Steevy Hong Hue.

Piala Konfederasi merupakan panggung besar bagi Tahiti. Eddy Etaeta yang kala itu menduduki kursi pelatih pun berusaha maksimal mempersiapkan anak asuhnya.

Dia menyetel suara penonton dengan kencang saat latihan agar pemain terbiasa tampil di stadion penuh. Etaeta juga menempel gambar pemain bintang dunia yang bakal mereka hadapi pada turnamen di Brasil.

Minimal Cetak Gol

Tahiti
Pemain Tahiti merayakan gol Jonathan Tehau ke gawang Nigeria di Piala Konfederasi 2013. (AFP/Eitan Abramovich)

Lawan pertama Tahiti adalah Nigeria, negara yang memiliki peringkat 100 posisi lebih baik dari mereka. Nasib sial langsung diterima. Gol pertama lawan tercipta setelah bola mengenai wasit Uwa Echiejile.

Namun, dalam kedudukan tertinggal 0-3, Tahiti sukses mewujudkan target minimal yakni mencetak gol. Jonathan Tehau merobek gawang lawan melalui tandukan sembilan menit setelah jeda.

Di hadapan puluhan ribu suporter di Belo Horizonte, Tehau dan rekan-rekannya menandai momen bersejarah ini dengan berpura-pura mendayung kano. Selebrasi ini merupakan penghormatan mereka bagi olahraga nasional di kampung halaman.

Sayang, gol Tehau bukan awal kebangkitan Tahiti. Mereka kembali kebobolan tiga kali dengan Nnamdi Oduamadi mencetak hattrick bagi Nigeria.

Supir dan Pekerja Konstruksi

Tahiti
Tahiti kalah telak dari Spanyol di Piala Konfederasi 2013. (AFP/Christophe Simon)

Nigeria sudah tangguh. Namun kelas Spanyol jelas lebih baik lagi. Berstatus juara bertahan Eropa dan dunia, Tahiti tidak mampu meredam serangan lawan. Mereka kemasukan 10 gol sehingga Spanyol mencatatkan kemenangan terbesar sepanjang sejarah turnamen.

Hal serupa terulang di partai pamungkas versus Uruguay. Tahiti takluk 0-8.

Skor yang wajar mengingat lawan memiliki bintang dengan gaji berlimpah seperti Fernando Torres, David Villa, Sergio Ramos, Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Luis Suarez, Diego Forlan, Diego Godin, hingga Edinson Cavani.

Sementara skuat Tahiti berisi pemain yang menyambi sebagai supir dan pekerja konstruksi.

Satu-satunya pemain profesional milik Tahiti adalah Marama Vahirua. Dia menghabiskan mayoritas karier di Prancis dan memperkuat Nantes, Nice, dan Lorient. Setelah sempat membela Prancis U-21, Vahirua memutuskan menerima panggilan leluhur khusus untuk Piala Konfederasi.

Marama Vahirua
Marama Vahirua. (AFP/Gregory Boissy)

Potensi Sepak Bola di Tahiti

Tahiti
Pemain Tahiti mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Brasil atas dukungan selama mengikuti Piala Konfederasi 2013. (AFP/Juan Barreto)

Tahiti atau Polinesia Prancis bukanlah negara sepak bola. Faktor geografis memainkan peran. Kawasan ini memiliki 118 pulau yang tersebar di Samudera Pasifik.

Sejarah sepak bola mereka masih muda. Mereka baru melakoni laga internasional pertama pada September 1952 melawan Selandia Baru.

Dalam perjalanannya, Tahiti beberapa kali menunjukkan potensi. Mereka mencapai Piala Dunia U-20 2009 dan 2019. Di level klub, AS Tefana melaju ke final Liga Champions Oceania.

Meski melempem di nomor konvensional, Tahiti bersinar di sepak bola pantai. Mereka dipercaya menggelar Piala Dunia Pantai 2013 untuk menjadi negara Pasifik pertama yang jadi tuan rumah turnamen FIFA.

Tahiti terhenti di semifinal sebelum merebut medali perak pada dua edisi berikutnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya