Pesantren Inklusif Karya Tunanetra Inspiratif Ada di Karawang

Ustaz Ismail, mendirikan Magister ekonomi penyandang tunanetra ini hanya bermodal niat ibadah untuk mewujudkan pesantren inklusif. Dan dia berhasil.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 14 Jan 2020, 16:19 WIB
Diterbitkan 14 Jan 2020, 16:19 WIB
Zahira dan santri-santri Takwinul Ummah Karawang
Zahira dan santri-santri Takwinul Ummah Rengasdengklok, Karawang ketika seminar pembangunan akhlak. Senin, (13/1/2020).

Liputan6.com, Jakarta Sebuah bangunan dua lantai bertuliskan SMP Islam Takwinul Ummah berdiri tegak di bilangan Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Riuh suara anak-anak terdengar jelas hingga ke pekarangan pesantren inklusif ini.

Itu adalah suara para santri yang menimba ilmu di SMP Islam tersebut. Senin pagi di pertengahan Januari adalah hari pertama mereka masuk sekolah lagi setelah libur panjang.

Di lantai bawah, terlihat beberapa guru sedang bercengkerama di sebuah ruang bertuliskan ‘Teachers Only’. “Pak Ustaz mana?” salah satu staf Takwinul Ummah bertanya pada para guru.

Salah satu guru menunjuk ruang perpustakaan tepat di sebelahnya. Dibukalah pintu perpustakaan berwarna coklat itu, di dalam tampak seorang pria paruh baya tengah duduk bersila. Pria berpeci dan berbaju koko itu seorang penyandang tunanetra.

Ustaz Ismail, begitu pria itu disapa. Nama lengkapnya R Ismail Prawira Kusuma, pemimpin sekaligus pendiri Yayasan Bakti Islami Takwinul Ummah. Ia mengelola yayasan dan dana para donatur dengan dibantu sang istri, Maryati.

“Yayasan ini kami bangun dengan niat ibadah,” ujar Pak Ustaz yang juga lulusan magister ekonomi syariah lulusan Universitas Ibnu Khaldun Bogor.

Di tengah keterbatasan, ia mampu membuktikan bahwa Tuhan selalu memberi jalan. Hingga kini, yayasan yang didirikannya telah menaungi sebuah SMP, pesantren (19 cabang) yang tersebar di lima kecamatan di Karawang.

Berawal dari Kandang Sapi

SMP Islam Takwinul Ummah
Tampak depan SMP Islam Takwinul Ummah Rengasdengklok Karawang. Senin, (13/1/2020).

Kisah perjuangan Ismail membangun pesantren berawal pada 2008, ketika ia mulai menerima beberapa anak yatim untuk belajar agama di rumah mertuanya. Sekitar tujuh anak datang dan sedapat mungkin diberikan kehidupan yang layak. Setiap harinya, mereka diajarkan untuk shalat dan mengaji. Karena saat itu belum ada asrama, anak-anak itu tidur di tengah rumah.

“Kalau ada mi instan satu bungkus, ya dibagi tujuh, harus cukup untuk tujuh anak,” ujar Ismail.

Waktu berlalu, anak-anak sekitarnya pun berdatangan dengan niat belajar mengaji. Rumah sang mertua sudah tak muat menampung mereka. Akhirnya, kandang sapi pun menjadi pilihan.

Pak Ustaz dan istrinya bahu-membahu membersihkan kandang sapi. Harapan mereka satu, dapat menampung dan mengajarkan anak-anak tentang pengetahuan agama.

“Sambil menangis, saya membersihkan kandang sapi itu dan berdoa, semoga ke depannya ada tempat yang lebih layak,” ujar Maryati.

Beralih Ke Tanah Wakaf

Seiring berjalannya waktu, kegiatan belajar-mengajar semakin serius. Anak-anak bersemangat dan rajin menghafal Al-Quran. Mengetahui kegiatan positif yang dilakukan Ismail dan istrinya, seorang tetangga ikut mewakafkan tanah untuk kepentingan pendidikan.

Sebuah musala berdiri di tanah itu. Selanjutnya, "Dengan izin Allah, kami membangun sebuah madrasah," ujar Ismail saat ditemui Liputan6.com.

Dana pembangunan didapat dari hasil kerja dan sumbangan jamaah. Sejak dulu, Ismail memang sering mengajar dan mengisi khotbah di banyak tempat.

Jatuh-bangun membangun pesantren, mereka jalani dan nikmati. Mereka sempat kehabisan dana ketika bangunan baru setengah jadi. Padahal, Ismail sudah memiliki utang di toko material.

“Istri saya dulu punya motor, dijual motor itu, dapet tiga juta. Alhamdulillah itu cara Allah memberi rezeki pada kami, harus berkorban dulu apa yang kita punya. Dalam waktu tiga minggu ada yang kirim Rp30 juta. Setelah itu, ada yang infak lagi hingga selesainya madrasah,” kenang Ismail.

Inklusifitas di Lingkungan Pesantren

Ismail sebagai penyandang tunanetra membuka lebar pintu pesantrennya untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Sekitar lima anak dengan kebutuhan khusus turut belajar di pesantrennya. Ada anak penyandang tunanetra, disabilitas belajar, dan autisme ringan.

Tak hanya itu, pesantren pun menerima staf atau guru yang memiliki keterbatasan. Pernah ada staf tunanetra dan guru pengguna kursi roda yang mengabdikan diri di pesantren itu.

“Kami berawal dari nilai kebersamaan, sadar kita ini berbeda-beda, saya selalu sampaikan, kita ini di pesantren satu nasib, satu keluarga besar, satu perasaan, jadi semuanya harus saling mendukung,” ujar sang ustaz.

Pesantren juga menyediakan pendamping khusus untuk anak-anak dengan disabilitas. Alat bantu seperti Al-Quran Braille pun tersedia. Sementara alat bantu sudah mencukupi karena anak dengan tunanetra baru ada satu di pesantren ini.

Anak itu bernama Zahira, usianya 7,5 tahun. Sudah sekitar delapan bulan ia belajar di sini, ia mengaku betah dan sangat terbantu.

Seneng banget, di sini aku diajarin untuk menjadi mandiri. Aku paling suka menghafal Al-Quran dan bersih-bersih bareng kakak-kakak,” ujarnya.

Hingga kini, Zahira sudah berhasil menghafal dua juz Al Quran. Ia pun bercita-cita ingin hafal 30 juz pada usia 9 tahun.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya